Teringat Kasus George Floyd di AS, Legislator Papua Marah: Kekerasan 2 Oknum POM AU Adalah Rasis

JAKARTA - Kecaman atas kekerasan di Papua kembali ramai usai beredarnya video berdurasi sekitar 1 menit 20 detik pada Selasa, 27 Juli. Video tersebut memperlihatkan, proses pengamanan pemuda Papua oleh dua orang personel Polisi Militer Angkatan Udara (POM AU), lantaran dikabarkan sang pemuda mabuk dan memeras tukang bubur.

Video tersebut dikecam banyak pihak karena tindakan represif yang dilakukan dua personel POM AU tersebut.

Menanggapi ini, Anggota Komisi I DPR Yan Permenas Mandenas, menyebut insiden ini seolah mengingatkannya pada kasus George Floyd di Amerika Serikat.

Anggota dewan yang membidangi bidang pertahanan dan keamanan ini, mengecam kekerasan yang bukan pertama kali terjadi di bumi pertiwi dengan melibatkan orang Papua.

“Masih dalam ingatan, kasus rasisme di Malang dan Surabaya yang berujung pada kriminalisasi mahasiswa Papua, demo serentak di Papua, hingga pemutusan sinyal internet oleh negara. Kini, ingatan atas itu muncul jelas kembali," ujar Yan Mandenas, Kamis, 29 Juli.

Legislator dapil Papua ini melihat insiden tersebut tak semata tindak kekerasan, tapi juga simbol perendahan martabat, rasisme, dan diskriminasi. Tindakan ini, kata Yan, jelas mencoreng nama baik institusi TNI dan wajah negara di hadapan orang Papua.

Yan menyatakan, berulangnya kejadian serupa terlebih melibatkan aparat mengindikasikan bahwa adanya pelanggengan rasisme dari sisi struktural dan budaya oleh oknum dalam institusi negara.

“Atas dasar apa mereka bertindak seperti itu? Tentu, itu karena mereka merasa berhak melakukannya," katanya geram.

Menurut Yan Mandenas, dua oknum aparat itu berlaku demikian lantaran memiliki bentuk pikiran yang rasis. Dimana merasa diri superior sehingga berhak "menindas", karena orang lain penyandang identitas tertentu dianggap lebih inferior sehingga dianggap pantas "ditindas".

"Padahal, jelas secara prinsip moral dan konstitusi, tidak boleh ada seorang pun yang boleh diperlakukan secara tidak adil, direndahkan martabatnya, apalagi disiksa dan diperlakukan secara keji seperti itu, tanpa proses hukum," tegasnya.

Politikus Gerindra itu mengingatkan, bahwa aparat sudah memiliki SOP bagaimana harus bersikap dan bertindak ketika menghadapi tindakan pelanggaran oleh masyarakat. Tentu, kaya Yan, bukan dengan tindakan yang brutal seperti dua personil POM AU tersebut lakukan.

"Dengan insiden ini, aparat negara akhirnya nampak hanya mempertegas sikap antagonisnya terhadap orang asli Papua. Ini adalah bentuk kebrutalan aparat di lapangan yang harus segera dihentikan dan tidak boleh terulang," bebernya.

Disisi lain, Yan Mandenas mengapresiasi petinggi TNI AU yang segera merespons dengan penyesalan dan permintaan maaf atas insiden tersebut. Hingga mencopot Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) Johanes Abraham Dimara di Merauke, Kolonel Pnb Herdy Arief Budiyanto dan Komandan Satuan Polisi Militer (Dansatpom) Lanud setempat.

Namun menurutnya, pencopotan saja belum cukup dan tidak menyelesaikan permasalahan secara signifikan. Yan mendorong adanya pembenahan dari internal TNI mengenai cara pandang terhadap tindakan rasisme, juga mengembangkan pola pikir terbuka atas setiap individu.

Dia juga meminta, untuk memfasilitasi perlindungan dan pemulihan bagi korban atas dampak insiden tersebut, termasuk dampak psikologis.

"Perlu ada pembenahan secara internal dan menyeluruh. Selanjutnya, proses hukum harus tetap berjalan. Keadilan perlu ditegakkan dengan menindak tegas para pelaku. Ini untuk keadilan kemanusiaan dan sebagai upaya mencegah hal serupa terjadi," demikian Yan Mandenas.