Aturan Konyol Makan 20 Menit jadi Wajar Jika Melihat Tak Jelasnya Dasar Hukum PPKM

JAKARTA - Pemerintah menetapkan aturan makan di tempat maksimal 20 menit dalam perpanjangan PPKM Level 4. Aturan itu jadi pertanyaan. Bagaimana memastikan implementasinya? Beberapa menganggap lelucon. Lagipula, apa yang diharapkan dari kebijakan yang landasan hukumnya saja tak jelas? Maka jangan terkejut ketika turunan aturannya pun aneh.

Dikutip situs web covid19.go.id, perpanjangan pembatasan dilandasi oleh Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 dan Level 3 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali. Belum ada yang berubah meski sejak awal diberlakukan PPKM dengan landasan inmendagri dipersoalkan.

Kita lihat secara terstruktur. PPKM, dari yang buntutnya "mikro", "darurat" atau yang terbaru dengan kriteria level tidak dilandasi kedudukan hukum yang jelas karena tak merujuk UU yang berlaku. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang paling mungkin dipakai karena memuat banyak hal sebagai acuan kebijakan pandemi di Indonesia, misalnya.

Alih-alih menjadikan UU Karantina rujukan, pemerintah malah terkesan menghindarinya. Bahkan jika merujuk UU 12/2011 tentang Pembentukan Aturan Perundang-Undangan, Inmendagri PPKM pun tak memiliki posisi jelas. Memang, dalam pasal 8 ayat 2 UU 12/2011 dijelaskan aturan lain yang diterbitkan menteri juga termasuk perundangan-undangan.

Seorang warga dihukum karena pelanggaran protokol kesehatan (Sumber: Antara)

"Tapi ada syaratnya. Dia diatur sebagai kewenangan. Maka harus ada UU yang mendelegasikan kewenangan tersebut," kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati kepada VOI.

Instrumen untuk mendelegasikan kewenangan itu ada di UU Karantina. Tapi UU itu justru tak digunakan. Idealnya pemerintah membentuk aturan turunan berbentuk peraturan pemerintah yang didasari oleh UU Kekarantinaan Kesehatan. PP berlandas UU Karantina dapat mengakomodir seluruh rangkaian kewenangan penanganan pandemi secara lebih jelas.

"Ini semua sudah berantakan. Harusnya buat aturan lihat dulu aturan yang ada sebagai tata hukum sekalipun di kondisi darurat. Enggak ribet kok. Enggak mesti buat UU. Buat PP saja. Nanti tetap bisa jadi kewenangan pemerintah pusat," kata Maidina.

Hasilkan aturan amburadul

Analis kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut amburadulnya aturan PPKM tak mengejutkan. Sebuah kebijakan publik idealnya dibangun dengan proses matang melalui kajian, perencanaan, hingga konsultasi publik. Tanpa itu semua, apa yang diharapkan?

"Karena aturannya awalnya sudah enggak jelas, kita lihat ya akhirnya amburadul," tutur Trubus kepada VOI, Selasa, 27 Juli.

Memang, di tengah kondisi kedaruratan, pembentukan kebijakan juga memerlukan kecepatan. Fungsi kajian, perencanaan, dan konsultasi publik bisa dikesampingkan. Namun kondisi itu jugalah yang memaksa pemerintah untuk menggunakan UU Karantina sebagai landasan kebijakan.

Kenapa? UU Karantina memiliki turunan aturan yang dapat dijadikan acuan kebijakan. Dan UU Karantina, yang jelas telah melalui kajian lebih matang ketimbang inmendagri-inmendagri yang melandasi PPKM. Dasar hukum sebuah kebijakan nyatanya bukan cuma administratif belaka.

Ia berpengaruh pada turunan aturan serta implementasi dari penegakan aturan itu. "Idealnya merujuk UU. Maka kebijakan itu seharusnya dilandasi dasar hukum. Perencanaan konsultasi publik kalau situasi normal. Kalau dalam kondisi extraordinary pakai saja UU yang sudah ada."

Presiden Jokowi (Sumber: Setkab)

Yang dikatakan Trubus sejalan dengan epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman. Menurut Dicky UU Karantina, bagaimanapun telah melalui kajian panjang yang dapat digunakan pemerintah untuk menyusun kebjakan pengendalian pandemi. Ada empat skema yang disediakan UU Karantina.

Keempat skema itu adalah Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, Karantina Rumah, dan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). Tak ada PPKM. Menurut Dicky PPKM adalah jalan pintas yang diambil pemerintah untuk menghindari kewajiban memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang diamanatkan UU Karantina.

"PPKM Darurat itu kan dibuat karena memang semacam jadi shortcut. Karena UU itu banyak turunannya belum selesai. Belum tuntas, gitu. Itu sebetulnya harus diperbaiki. Harusnya segera. Akhirnya regulasi kita ini enggak bisa dipakai," tutur Dicky kepada VOI.

"Sebetulnya PSBB dan Karantina Wilayah itu sudah hasil kajian panjang. Saya terlibat juga. Hanya yang memberatkannya itu harus ada beban pemerintah untuk meng-cover biaya, beban kehidupan. Itu yang memberatkan. Terus juga belum ada pembagian peran yang belum jelas antara institusi. Ya, masih banyak bolong-bolongnya," tambah dia.

Panen kritik

Sesaat setelah diumumkan, aturan makan 20 menit langsung panen kritik. Warganet mengunggah sejumlah meme menyindir kebijakan yang implementasinya mereka pertanyakan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahkan menanggapi ramainya meme, yang salah satunya menyeret dia.

Anies optimis implementasi aturan dapat dilakukan. Menurutnya, pada dasarnya 20 menit cukup untuk seseorang menghabiskan makanannya. Terkadang, yang menyita waktu adalah mengobrol usai makan. Anies juga memandang aturan itu masuk akal karena menyangkut penggunaan masker

"Ramai di sosmed, saya juga ditanyain 'bisa enggak, Pak Anies, (makan) 20 menit?' Saya bilang, Insyaallah bisa lah," kata Anies saat ditemui di Jakarta Pusat, Selasa, 27 Juli.

"Intinya, makan secukupnya, jangan nongkrong, lalu pulang. Buat saya bukan soal 10 menit, 20 menit, 30 menit, tapi soal sesedikit mungkin berinteraksi yang berpotensi terhadap penularan," tutur Anies.

Di sisi lain, Ketua Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara) Mukroni meminta pemerintah meninjau ulang waktu operasional dan batas maksimal makan di tempat 20 menit. Sederhana, baginya, aturan itu tidak spesifik mengatur persiapan pedagang menyuguhkan santapan pelanggan.

"Yang makan di warteg kan tidak hanya ada anak kecil dan anak muda. Tapi ada orang tua juga. Orang tua kan makannya pelan-pelan. Kalau disuruh buru-buru bisa tersedak," kata Mukroni dikutip Antara, Senin, 26 Juli.

"Pedagang kan ada yang jual ayam bakar, lele dan lainnya. Ini butuh waktu (persiapan), bisa saja kalau diburu-buru, malah kesiram minyak," tambahnya.

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Lagipula Mukroni memandang batas waktu makan 20 menit tak menjamin sesoerang aman dari penularan virus corona. "Kita semua tahu, kalau penularan COVID-19 tidak mengenal jam, tapi detik," katanya.

Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah menjelaskan rinci landasan aturan batas makan 20 menit. Menurut Puan pemerintah harus mampu menjelaskan untuk menghindari cemoohan. Bukan apa-apa. Kebijakan yang nampak seperti lelucon dapat menurunkan kepercayaan pada pemerintah.

“Pemerintah harus bisa menjelaskan mengapa aturan batasan waktu makan tersebut bisa dianggap efektif untuk mencegah penularan. Kemudian soal teknis pengawasannya bagaimana?” Puan.

“Kalau ini dibiarkan tanpa penjelasan dan akhirnya hanya menjadi lelucon di tengah masyarakat, saya khawatir ini justru akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” sambungnya.

Dari sisi otoritas, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengaku paham kebijakan ini terdengar lucu. Tapi menurut Tito aturan batas maksimum makan semacam ini telah dilakukan di sejumlah negara lain.

"Mungkin kedengaran lucu. Tapi di luar negeri, di beberapa negara lain sudah lama diberlakukan itu. Jadi, makan tanpa banyak bicara dan kemudian 20 menit cukup, setelah itu memberikan giliran kepada anggota masyarakat yang lain," ucap Tito.

*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani, Wardhany Tsa Tsia, dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya