Andai Peneliti AstraZeneca Indra Rudiansyah dan Anak Bangsa Keren Lain Pulang, Siapkah Ekosistem Riset Indonesia?
JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menghubungi Indra Rudiansyah, mahasiswa Indonesia yang terlibat dalam riset AstraZeneca. Erick meminta Indra pulang untuk mengembangkan riset kesehatan di dalam negeri. Sembari menunggu Indra pulang, pemerintah sebaiknya membereskan sejumlah persoalan riset di Indonesia.
Indra Rudiansyah saat ini tengah menempuh studi S3 Jenner Institute University of Oxford. Kesempatan bergabung dalam tim pengembangan vaksin AstraZeneca bermula ketika grup riset emerging pathogen diseases di Oxford membutuhkan tenaga tambahan meneliti AstraZeneca. Indra yang tergabung dalam tim riset vaksin malaria pun mendaftar.
Tim itu berkembang ketika pandemi terjadi. Indra diterima dan bergabung dalam pengembangan vaksin AstraZeneca. "Akhirnya membuka lowongan ke semua orang yang mau join. Saya kebetulan daftar ketika itu," tutur Indra dalam Instagram Live bersama Erick Thohir.
Indra sebelumnya adalah karyawan di perusahaan BUMN, Bio Farma. Ia bekerja di Bio Farma sejak 2014, sebelum melanjutkan studi ke Oxford lewat jalur LPDP. Erick berharap Indra kembali ke Tanah Air untuk membantu mengaplikasikan teknik pembuatan vaksin AstraZeneca yang belum ada di Indonesia, yakni viral vector.
"Saya harap Indra, nomor satu selesaikan di Oxford. Kamu sudah punya pengalaman viral factor, yang di Indonesia Bio Farma masih menggunakan inactivated virus. Nah, dengan viral vector ini sistem produksinya sudah siap dan siapa tahu bisa untuk mengembangkan vaksin Merah Putih," tutur Erick.
"Mudah-mudahan ketika balik bisa bantu Indonesia. Kenapa? Karena vaksin ini penting. Tidak hanya COVID. Tapi basic, seperti malaria, TBC. (Indonesia) tertinggi di dunia. R&D (research and development) kita kurang kalau boleh jujur," tutur Erick.
Masalah riset di Indonesia
Secara umum ada tiga masalah utama dalam pembangunan riset di Indonesia: pendanaan minim, ketiadaan lembaga perencanaan dan pembiayaan riset dan teknologi, serta sumber daya manusia (SDM). Masalah-masalah tersebut adalah kendala yang tak terselesaikan dari periode ke periode pemerintahan. Mari kita dalami.
Minim pendanaan
Pada Mei lalu, anggota V Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah Akbar mengatakan anggaran riset di Indonesia paling rendah. Tak perlu dalam skala global. Di tingkat ASEAN saja Indonesia ketinggalan.
Memang. Pada 2019 dan 2020, proporsi belanja untuk sektor penelitian hanya 0,31 persen dari PDB. Angka itu jauh di bawah Singapura (2,64%) atau Malaysia (1,29%).
Bahrullah menyebut riset sebagai investasi hari ini. Menurut dia sejumlah studi menunjukkan kenaikan anggaran riset dapat otomatis mengungkit naik angka pertumbuhan PDB.
Hal itu terjadi karena tren ekonomi global yang makin bergantung pada perkembangan pengetahuan. Perkataan Bahrullah selaras dengan data Global Funding Forecast 2021.
Menurut data itu semacam ada tren yang dimulai sejak tahun 2000, di mana negara dunia meningkatkan anggaran dana research and development. Data Global Funding Forecast 2021 mencatat dana riset global di tahun 2020 mencapai 2,37 triliun dolar AS, dengan rincian sekitar 676 miliar dolar AS di tahun 2000 dan 2,32 triliun dolar AS di 2020. Melonjak tiga kali lipat.
Ketiadaan lembaga
Persoalan selanjutnya soal ketiadaan lembaga perencanaan dan pembiayaan. April lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko menjadi Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), badan yang Jokowi sebut untuk meningkatkan kualitas riset Indonesia. Banyak harapan dari berdirinya BRIN.
Pembentukan BRIN sebagai lembaga otonom merupakan dampak dari peleburan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dengan menjadi badan otonom pusat integrasi riset dan inovasi di Indonesia, BRIN akan bertanggung jawab langsung kepada presiden dalam tugas dan fungsinya mengintegrasikan R&D antarlembaga penelitian.
Lembaga penelitian yang berada di bawah BRIN nantinya termasuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta Badan Tenaga Nulir Nasional (Batan). Dengan begitu diharapkan ada lebih banyak dana riset untuk dikelola sebagai pendanaan riset dasar.
Namun pembentukan BRIN bukan tanpa persoalan. Hali Aprimadya, civitas akademika Crawford School of Public Policy, Australian National University, dalam tulisan di The Conversation menjelaskan Peleburan lembaga riset dapat menimbulkan konsekuensi serius terhadap implementasi kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Pertama, peleburan Kemendikbudristek menuntut perumusan ulang kebijakan iptek nasional yang kompleks. Dalam kondisi ini rencana strategis (resnstra) sebagai muara kebijakan kementerian baru terancam jadi abstrak dan ambigu. Hal itu justru berpotensi menghambat implementasi. Hali mencontohkan kebijakan Merdeka Belajar dan UU Cipta Kerja.
"Situasi serupa terjadi pada kebijakan ambisius, seperti Merdeka Belajar atau UU Cipta Kerja, yang mengundang beragam interpretasi publik sehingga memengaruhi proses implementasinya."
Selain itu performa BRIN sebagai lembaga pelaksana kebijakan iptek dapat terganggu dengan konstruksi kelembagaan sekarang. Riset Radboud University menunjukkan banyaknya pembuat kebijakan di satu lembaga rentan menimbulkan masalah yang berujung inefisiensi. Jika itu terjadi maka tujuan utama optimalisasi capaian output penelitian terancam gagal.
Namun yang perlu dipahami, keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan iptek adalah keniscayaan di tengah menguatnya narasi ekonomi berbasis pengetahuan. Namun yang perlu dikawal adalah bagaimana agar kebijakan iptek tak hanya tampak visioner di atas kertas tapi juga memungkinkan BRIN mudah mengimplementasikannya.
Sumber daya manusia
Soal SDM, Indonesia rasanya punya harapan. Bukan cuma soal keterlibatan Indra Rudiansyah di balik pengembangan vaksin AstraZeneca. Menurut data yang dipaparkan Bambang Brodjonegoro --kala itu masih Menristek-- pada Januari lalu, Indonesia mencatat peningkatan jumlah publikasi riset.
Dalam kurun waktu 2016-2020 Indonesia jadi negara kedua di ASEAN yang paling banyak memublikasikan riset. Menurut Bambang, “Yang menjadi tolok ukur di dalam kinerja riset di Indonesia adalah publikasi." Menurut data itu jumlah publikasi riset Indonesia pada 2020 mencapai sekitar 46.513.
Rinciannya, 23.607 artikel jurnal dan 22.906 conference paper. Diakumulasi dari 2016-2020, Indonesia telah memublikasikan 161 ribu riset. Dalam kurun waktu yang sama, Malaysia menerbitkan 173 ribu lebih riset. "Tetapi (Indonesia) lebih dari negara ASEAN besar lainnya,” tutur Bambang.
Dengan begitu para akademisi yang jadi sumber daya telah menunjukkan kontribusinya. Kini tinggal pemerintah yang menciptakan ekosistem riset nasional yang memadai dan berkualitas sehingga berguna bagi pembentukan peradaban bangsa ke depan.
*Baca Informasi lain soal RISET atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya
Baca juga: