Viral Dokter di NTB Dituding ‘Mengcovidkan’ Pasien, Dinkes Membantah
MATARAM - Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat dr Lalu Hamzi Fikri membantah kabar ada dokter atau rumah sakit yang sengaja mengcovidkan pasiennya.
"Saya tegaskan tidak ada rumah sakit atau dokter dan tenaga kesehatan meng-covid-kan pasien. Tidak ada itu," kata Hamzi Fikri, seusai rapat koordinasi evaluasi penangangan COVID-19 di kantor Gubernur NTB di Mataram dikutip Antara, Senin, 26 Juli.
Hamzi mengakui, saat ini angka pasien COVID-19 di NTB terus menunjukkan peningkatan. Hanya saja, kata dia, tidak ada sedikitpun dokter maupun rumah sakit yang berharap pasien COVID-19 terus bertambah.
Bahkan, para tenaga kesehatan berdoa agar jumlah pasien tidak terus bertambah dan pandemi COVID-19 segera berakhir.
"Justru kami tidak ingin rumah sakit itu penuh, bahkan kami para tenaga kesehatan berdoa agar jumlah pasien ini tidak terus bertambah. Keinginan kami dua tahun terakhir ini sama, bagaimana keluar dari pandemi COVID-19," kata Hamzi.
Menurutnya saat ini yang terpenting masyarakat mengikuti anjuran untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bisa menekan laju penyebaran COVID-19.
"Kerja sama semua pihak dibutuhkan, terutama dari hulu bagaimana kita sama-sama menerapkan protokol kesehatan dan menghindari kerumunan untuk mencegah penyebaran COVID-19," katanya.
Sebelumnya viral di media sosial seorang warga memarahi perawat Puskesmas Janapria, Lombok Tengah, Sabtu, 24 Juli, karena menolak dilakukan rujukan medis orang tuanya yang diagnosis terpapar COVID-19 menuju RSUD Praya untuk mendapatkan penanganan secara khusus.
Kapolsek Janapria Iptu H Muhdar bersama beberapa anggota yang hadir di Puskemas Janapria menenangkan warga yang menolak hasil swab dan rujukan ke RSUD Praya tersebut.
"Warga yang terpapar tersebut berinisial K (69), asal desa Prako, Janapria. Pasien masuk puskemas untuk berobat pada Sabtu kemarin karena mengalami keluhan demam selama empat hari, mencret mual, muntah dan batuk,"kata H Muhdar, Minggu, 25 Juli malam.
Setelah dilakukan penanganan medis dan swab antigen, pasien tersebut terkonfirmasi positif COVID-19. Beberapa saat kemudian datang anak kandung dari pasien, Khairul Fikri. Ia datang dengan marah-marah kepada dokter atau perawat di puskesmas.
"Khairul Fikri menunjukkan sikap penolakan serta menyimpulkan bahwa hasil periksa kedokteran di Puskesmas Janapria tidak bisa dipercaya dan terkesan dibuat-buat atau terlalu cepat memvonis pasien menjadi terpapar COVID-19," ujarnya.
Baca juga:
- Keluarga Akidi Tio Sumbang Uang Rp2 Triliun untuk Penanganan COVID-19 di Sumsel
- Menkes BGS: Kebutuhan Obat Penanganan COVID-19 Melonjak 12 Kali Lipat Sejak Juni
- Banyak Warga Belum Terima Bansos, Mensos Risma 'Lempar' ke Daerah
- Ke MUI, Wapres Ma'ruf Minta Jaga Indonesia dari Kelompok yang Manfaatkan COVID-19 Kobarkan Distrust ke Pemerintah
Diceritakan, saat itu penanggung jawab medis di Puskemas Janapria, yakni dr. Putu, telah menjelaskan bahwa tindakan kedokteran sudah akurat berdasarkan petunjuk medis dan alat yang digunakan oleh pemerintah dan pekerjaaan ini bertaruh dengan jabatan maupun profesi kedokteran.
"Dokter Putu menjelaskan kepada warga tersebut bahwa pasien yang terindikasi terpapar COVID-19 yang memiliki penyakit bawaan diharapkan untuk ditangani di ruang khusus dan penanganan secara khusus, sedangkan OTG dapat menjalani Isolasi mandiri di rumah," ucapnya.
Melihat emosi warga tersebut, pihaknya mencoba menetralisir situasi serta menenangkan warga yang menolak orang tuanya untuk dirujuk ke RSUD Praya.
"Lantaran keluarga pasien menolak rujukan, akhirnya Puskesmas Janapria memberikan surat penolakan tindakan medis yang ditandatangani oleh yang bersangkutan dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap risiko yang akan dialami pasien ataupun lingkungan," kata kapolsek.