Dituduh COVID-kan Pasien, RSUD Cipayung Membantah
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sebuah akun media sosial TikTok dengan nama @tirtasiregar membagikan pernyataan video bahwa Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cipayung meng-COVID-kan seorang pasien yakni ibunya. Video tersebut menjadi viral.

Namun, Direktur RSUD Cipayung Ekonugroho Budhi Prasetyo membantah pihaknya sengaja membuat salah satu pasien dinyatakan terpapar COVID-19.

Eko menjelaskan, awalnya pasien berinisial M yang berusia 64 tahun itu berobat ke RSUD Cipayung pada 16 Februari 2022 pukul 22.15 WIB. Dia datang dengan keluhan batuk dan sesak sejak satu minggu sebelumnya.

Pasien M saat itu membawa hasil pemeriksaan swab rapid antigen yang dilakukan 5 hari sebelumnya dengan hasil negatif.

Melihat kondisi pasien yang memiliki gejala seperti COVID-19, dokter RSUD Cipayung memutuskan untuk melakukan tes antigen dan PCR ulang. Apalagi, pasien tersebut memiliki komorbid.

“Berdasarkan pemeriksaan dokter, mempertimbangkan kondisi pasien saat itu, dengan perjalanan sakit yang telah satu minggu, ditambah lagi pasien yang berusia lanjut serta mempunyai penyakit komorbid hipertensi dan asma, maka dokter merencanakan untuk melakukan pemeriksaan dengan rapid antigen ulang sekaligus akan dilakukan pemeriksaan PCR," kata Ekonugroho dalam keterangannya, Senin, 21 Februari.

Mengingat diperlukannya waktu untuk menunggu hasil tes PCR keluar, pihah rumah sakit meminta persetujuan tertulis kepada keluarga tentang rencana pemeriksaan dan penempatan sementara pasien, sebelum pasti apakah pasien menderita COVID-19 atau bukan.

"Hal ini dilakukan dalam rangka meminimalisir kemungkinan terjadinya penularan di dalam rumah sakit dan menjaga agar pasien dengan COVID-19 tidak dirawat dalam satu area dengan pasien bukan COVID-19,” tutur Ekonugroho.

Namun, ternyata keluarga menganggap bahwa prosedur tersebut adalah upaya meng-COVID-kan pasien. Sehingga, keluarga menolak mengikuti rencana penanganan pasien dan selanjutnya membawa pulang pasien.

Padahal, kata Ekonugroho, pemeriksaan rapid antigen pada awal sakit, seperti yang dilakukan pasien M, bisa jadi memberikan hasil masih negatif karena jumlah virus yang masih terlalu rendah untuk bisa dideteksi oleh tes rapid antigen.

Karenanya, hal itu hanya bisa terdeteksi dengan tes PCR. Mengingat, pemeriksaan dengan PCR mempunyai tingkat akurasi paling tinggi sehingga menjadi acuan utama untuk penegakan diagnosis COVID-19.

"Setelah kondisi sakit berjalan beberapa hari, di mana jumlah virus bertambah banyak, maka baru dapat dideteksi, baik dengan tes rapid antigen maupun PCR. Hal ini sering ditemukan dalam situasi sehari-hari, sehingga tidak jarang diperlukan pemeriksaan ulang untuk memastikan apakah seseorang pasti menderita COVID-19 atau tidak," jelas dia.