Belajar Mengentaskan Korupsi dari 3 Negara Paling "Bersih"

JAKARTA - Peringatan Anti Corruption Day atau Hari Anti Korupsi Sedunia, masih jadi momen penting di Indonesia. Meresolusi dari kesepakatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memerangi tindak pidana korupsi. 

Selama konvensi itu berlangsung, baru ada tiga negara yang bisa dibilang paling 'bersih' dari korupsi. Merujuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2018 yang dikeluarkan Transparancey International, ketiga negara itu berasal dari negeri Skandinavia yakni Denmark, Selandia Baru dan Finlandia. 

Secara berturut-turut ketiganya menerima skor 88, 87, dan 85. Artinya, praktik korupsi hampir tidak pernah terjadi di negara tersebut. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan IPK Indonesia yang masih rendah, sampai harus menempati peringkat 89 dari 180 negara. 

Mungkin Indonesia perlu belajar dari ketiga negara yang IPK-nya paling tinggi. Meskipun tidak ada cara tunggal, tapi kita bisa menambah referensi bagaimana cara ketiga negara tersebut mempertahankan IPKnya.  

1. Denmark

Negara pertama yang mendapat indeks persepsi korupsi paling rendah adalah Denmark. Ada sistem yang terintegritas bagi aparat penegak hukum dalam bidang akademik. Hal ini dilakukan untuk memberikan pemahaman dan komitmen mereka untuk memberantas tindak pidana korupsi. 

Dilansir dari hukumonline, Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Rasmus Abildgaard Kristensen pernah mengatakan jika bersih dari tindak pidana korupsi saja tidak cukup. Jadi, sejak dalam akademi (kepolisian) mereka akan banyak menghabiskan banyak waktu khusus di bagian pelatihan memberantas korupsi. 

Selain komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi, pemerintah terus berupaya untuk bersikap transparan terhadap publik. Bahkan Parlemen Denmark tak akan memberikan hak imunitas bagi anggota dewannya yang terlibat dalam kasus korupsi, atau pelanggaran pidana lainnya. 

Menurut Kristensen, dua ujung tombak pemberantasan korupsi di Denmark. Keduanya bukanlah aparat kepolisian atau lembaga antikorupsi. Melainkan Ombudsman dan auditor lembaga keuangan (semacam BPK di Indonesia) yang akan berperan dalam bidang pengawasan. 

2. Selandia Baru

Negara kecil di Tenggara benua Australia ini menduduki, peringkat kedua paling bersih dalam mengentaskan korupsi. Selandia Baru punya caranya tersendiri dalam membasmi tikus-tikus koruptor yang menggerogoti keuangan negaranya. 

Menurut Pengajar Politeknik Keuangan Negara STAN yang menerima beasiswa "The New Zealand Asean Scholarship Award 2014", Rudy M Harahap, ada beberapa hal yang bisa diperhatikan mengapa Selandia Baru bisa menjaga negara tersebut dari tindak korupsi. Pertama adalah karena negara itu menganut sistem parlementer. Dengan demikian, menteri otomatis menjadi anggota parlemen. 

"Keuntungannya, kebijakan nasional bisa dirumuskan melalui perdabatan politik langsung di parlemen antara menteri yang memimpin kementerian/lembaga berhadapan langsung dengan politisi dari partai oposisi," kata Rudy dalam tulisannya yang dimuat detik.com

Setelah perdebatan di parlemen usai, para profesional birokrasi di kementerian langsung mengimplementasikan kebijakan tersebut. Alhasil, tidak dimungkinkan bagi menteri atau anggota parlemen mengintervensi langsung proses eksekusi kebijakan politik ke lembaga. Pengimplementasiannya diserahkan kepada chief executive officer (CEO) atau semacam sekretaris jenderal kementerian atau lembaga kalau di Indonesia, yang dipilih langsung oleh Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) atau civil service comission.

3. Finlandia

Selain sistem pendidikannya yang dikagumi banyak negara. Finlandia juga sukses memangkas sistem birokrasi yang memungkinkan terjadinya tindakan korupsi. 

Sistem birokrasi yang ringkas dan tidak berkelok-kelok, memungkinkan warga Finlandia mengurus hal-hal administrasi cuma beberapa tingkatan saja. Layanan satu pintu juga dibangun Finlandia yang mengadopsi sistem birokrasi pemerintahan Swedia , selama kurun 1150-1809. Sistem itu tetap berlanjut hingga kemerdekaannya pada 6 Desember 1917. 

Pasca merdeka, sistem administratif Finlandia berkembang. Pada 1990, struktur sistem administrasi direformasi. Sistemnya didesentralisasi. Tiap daerah diberi kemandirian operasional dan ekonomi municipalities

Municipalities, melaksanakan administrasi pemerintahan mandiri atas penduduknya. Sistem itu berhak memungut pajak penduduknya, dan dikelola oleh badan yang dipilih secara langsung melalui pemilu, disebut Municipal Councils, yang kemudian menunjuk seorang Mayor. 

Selain itu dari sistem administrasi Finlandia ada yang namanya Referendary System. Dalam sistem itu seluruh bawahan dalam hierarki organisasi wajib mengajukan pertanyaan atas segala keputusan yang ditetapkan oleh atasannya. 

Dalam Referendary System, pegawai diperbolehkan untuk membuat ikhtisar permasalahan dari aturan terkait, termasuk mengindentifikasi opsi keputusan alternatif yang dikeluarkan oleh atasannya. Jika ada keputusan yang berlawanan, maka pegawai yang bekerja berhak memberikan catatan yang menyatakan ketidaksetujuan dari aturan tersebut. Dengan kata lain, pekerja secara legal ikut bertanggung jawab atas setiap pengambilan keputusan atau kebijakan yang diambil.