Menelusuri Fakta Eksistensi Prabu Siliwangi yang Masyhur dalam Cerita Rakyat Sunda
JAKARTA - Hal menarik terkait nama Prabu Siliwangi adalah perdebatan mengenai kebenaran sosoknya. Eksistensinya nyata atau sekadar sosok dalam cerita-cerita rakyat Sunda? Kami menelusuri fakta yang melingkar di balik nama Prabu Siliwangi.
Sebuah makalah berjudul Eksistensi Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi karya Mumuh Muhsin Z dari Universitas Padjajaran memaparkan fakta mental dan sosial (mentifact dan socifact) yang jadi fakta kuat keberadaan Prabu Siliwangi dalam dunia nyata.
Prabu Siliwangi bukan mitos, melainkan nama historis, yang artinya merupakan pijakan historis dari kisah-kisah yang beredar terkaitnya. Siliwangi adalah nama lain dari Sri Baduga Maharaja. Ia merupakan Raja Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) yang bersifat primus interpares; raja pinunjul di antara raja-raja Sunda lainnya.
Berbagai sumber menyatakan, Kerajaan Sunda melewati masa keemasan dalam periode kepemimpinan Prabu Siliwangi. Bahkan, berakhirnya kepemimpinan Prabu Siliwangi diyakini sebagai awal keterpurukan dan runtuhnya Kerajaan Sunda.
Ibu Kota Kerajaan Pajajaran adalah Kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran atau yang saat ini dikenal sebagai Kota Bogor. Pada masa lalu, orang-orang menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Kerajaan Pajajaran sebelumnya didirikan pada 923 oleh Sri Jayabhupati, berdasarkan Prasasti Sanghyang Tapak.
Fakta keberadaan Prabu Siliwangi juga tertulis di Prasasti Batutulis yang dibuat Prabu Surawisesa, Raja Sunda yang berkuasa selama 14 tahun (1521-1535 M). Prasasti itu dibuat untuk mengenang kejayaan ayahnya, yang mana adalah Prabu Siliwangi. Prasasti tersebut juga menjelaskan bagaimana wilayah kekuasaan warisan Prabu Siliwangi yang mulai direbut satu per satu.
Berdasar berbagai sumber sejarah, Prabu Siliwangi memiliki 151 istri. Namun, hanya beberapa istrinya saja yang sering disebutkan dalam kisah-kisah mengenai Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi juga menikahi seorang perempuan Muslim bernama Subang Larang. Sifat toleransinya juga ditunjukkan dengan sikapnya yang tak melarang anak-anaknya yang hendak memeluk agama Islam.
Kunci sejahterakan rakyat ala Prabu Siliwangi
Prabu Siliwangi dikenal sebagai raja yang bijaksana. Kebijaksanaan itu yang diyakini menjadi kunci keberhasilannya menyejahterakan rakyat Pajajaran. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Pajajaran mampu membangun parit pertahanan dan membuat beberapa prasasti. Saat itu Pakuan Pajajaran juga menjadi kota terbesar kedua di Nusantara setelah Demak.
Selain itu, kesuksesan kepemimpinan Prabu Siliwangi juga disebabkan oleh kemampuannya merancang strategi perang mumpuni. Menurut lembaran yang dikenal Sangyang Siksakandang Karesian, terdapat nilai-nilai strategi kemiliteran yang berlaku di zaman Prabu Siliwangi.
Beberapa strategi di antaranya adalah Makarabihwa (mengalahkan musuh menggunakan kekuatan pengaruh, Katrabihwa (pembagian posisi prajurit saat menyerang), Lisangbihwa (pemberian motivasi dan membakar semangat juang para prajurit), dan Singhabihwa (mengalahkan musuh dengan memasukkan tim kecil penyusup ke barisan musuh). Strategi-strategi tersebut kini juga dikenal sebagai 'Strategi Perang Orang Sunda'.
Dari cerita-cerita dan legenda rakyat, keberhasilan kepemimpinan Prabu Siliwangi juga tak lepas dari sifatnya yang mengayomi. Ia juga dikenal sebagai pemimpin yang peduli rakyat kecil. Pesan tersebut disampaikan turun menurun hingga tertulis pada Prasasti Kawali.
Prabu Siliwangi juga menerapkan silih asah (saling mempertajam pengetahuan), silih asih (saling mengasihi), dan silih asuh (saling menjaga dan melindungi). Silih asah, asih, asuh juga menjadi pedoman bagi masyarakat Sunda yang cukup penting hingga sekarang.
Masyarakat Sunda juga percaya, Prabu Siliwangi bukan meninggal dunia, melainkan 'nga-hiyang' atau proses perginya jiwa dan raga seseorang ke suatu tempat namun tidak untuk selamanya. Prabu Siliwangi menghilang setelah menyampaikan amanat atau yang juga dikenal Uga Wangsit Siliwangi. Tetapi beberapa sumber juga mengatakan bahwa Prabu Siliwangi meninggal pada 1521 dan dimakamkan di Rancamaya, Bogor.