Rijsttafel: Ketika Eksklusivitas dan Kemewahan Dongkrak Pariwisata Hindia-Belanda

JAKARTA - Hari ini, di tengah kemasyhuran alam dan budaya Indonesia, mendatangkan wisatawan mancanegara barangkali bukan perkara yang sulit-sulit amat. Berbeda dengan zaman penjajahan Belanda. Dahulu, pemerintah kolonial mencoba berbagai macam cara untuk menarik wisatawan, termasuk lewat prosesi makan Rijsttafel yang menyajikan kemewahan dan eksklusivitas.

Dahulu, kunjungan ke Hindia-Belanda memerlukan biaya yang tak murah. Maka, siapapun yang berkunjung hanyalah golongan kaya dan sangat kaya. Berdasar itu, pemerintah kolonial putar otak, memanfaatkan pangsa pasarnya. Mereka pun memutuskan menjual kemewahan dan eksklusivitas. Salah satu jejaknya hadir lewat perjamuan mewah ala rijsttafel.

Rijsttafel, yang secara sederhana dikenal dengan istilah "rice table" atau meja nasi begitu kesohor di seantero Nusantara. Dalam definisi lengkapnya, rijsttafel adalah konsep jamuan makanan atau penyajian perpaduan makanan lengkap ala Indonesia dan Eropa. Dalam tahapannya, prosesi makan ini diawali dengan makanan pembuka, menu utama, dan diakhiri penutup.

Keanekaragaman menu yang disajikan semakin melegitimasi kemewahan rijsttafel. Mina Kruseman, dalam novel Een Huwelijk in Indie (1873), memberikan gambaran masakan yang biasa disantap dalam rijsttafel.

“Orang Belanda biasanya makan menu sehari-hari (daagschen pot) yang terdiri dari nasi sebagai sebagai hidangan utama (hoofdschotel), kari (kerrie), sajian sayur, tiga hingga tujuh jenis hidangan daging, serta sambal. Jumlah hidangan Eropa yang mereka konsumsi tidak terlalu banyak.”

Sajian rijsttafel biasa diperkaya dengan hadirnya sajian berbagai macam lauk, seperti ayam, perkedel, udang, dendeng, kepiting, telur asin, sayuran, dan sambal. Tak heran, jamuan rijsttafel umumnya hanya dilakukan secara terbatas pada rumah-rumah pada pejabat dan bangsawan Hindia-Belanda.

Setali dengan itu, waktu penyajian pun dibatasi hanya pada siang hari dan biasanya hari Minggu agar semua hidangan rijsttafel yang melimpah itu dapat dinikmati. Namun, karena pemerintah kolonial melihat hal ini sebagai potensi, jamuan rijsttafel mulai dihadirkan di hotel dan restoran mewah Hindia-Belanda.

Sebagaimana diungkap oleh Achmad Sunjayadi dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda 1891-1942 (2019), rijsttafel yang umumnya disajikan di rumah tangga pun mulai tersaji di luar rumah. Buktinya hadir lewat sebuah surat kabar terbitan Batavia pada 1868 yang memuat iklan "mencari juru masak spesialis hidangan rijsttafel di Restoran Cavadino."

“Iklan ini menunjukkan bahwa hidangan rijsttafel sudah dapat dinikmati di luar rumah, yaitu restoran. Selain restoran, rijsttafel yang dianggap mengejutkan bagi para pendatang baru ini dapat dinikmati di hotel dan losmen,” tulisnya.

Ilustrasi foto risjttafel (Wikimedia Commons)

Sajian utama kapal pesiar dan hotel mewah

Seiring kemajuan pariwisata Hindia-Belanda, pamor rijsttafel juga ikutan naik. Hotel mewah hingga pesiar yang menuju ke negara koloni (Indonesia) berlomba-lomba menghadir jamuan rijsttafel untuk menarik minat pengunjung agar mau berlama-lama menetap untuk plesiran.

Sampai-sampai, badan pariwisata bentukan pemerintah Hindia-Belanda yang bernama Batavia Vereeniging Toeristenverkeer terbebani tanggung jawab moral memperkenalkan jamuan rijsttafel kepada khalayak lebih luas. Maka dari itu, mereka meluncurkan sebuah buku panduan pariwisata hindia belanda berjudul Java the Wonderland (1900).

Selain mengulas terkait destinasi wisata, perihal rijsttafel menjadi ulasan yang paling banyak dibahas. “Salah satu dari sekian banyak hal yang paling luar biasa dalam kehidupan hotel di Jawa adalah rijsttafel yang disajikan saat waktu makan siang dengan keunikan yang hanya terlihat di koloni Belanda dan Singapura.”

Tak hanya itu, mereka pun dengan bangganya memberikan label kepada juru masak di Hindia-Belanda sebagai ahlinya menyajikan rijsttafel. “Seorang juru masak yang teliti akan memperhitungkan makanan apa saja yang termasuk dalam 20 sajian yang berada di meja pengunjung hotel. Untuk itu, pembaca akan langsung dapat menilai betapa rumitnya urusan rijsttafel,” tertulis dalam buku Java the Wonderland.

Senada dengan itu, Fadly Rahman, dalam buku Rijsttafel: Budaya Kuliner Di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2016), mengungkap kepopuleran rijsttafel juga merambah ke dalam fasilitas utama kapal pesiar yang menuju Hindia-Belanda. “Dalam kaitannya dengan wisata bagi orang-orang Eropa, pada akhir abad ke-19 mulai banyak bermunculan kapal pesiar mewah yang menyajikan rijsttafel.”

Beberapa di antara kapal pesiar mewah yang menghadirkan jamuan mewah rijsttafel adalah S.S (Steam Ship) Rotterdam dan Oranje yang terkenal mewahnya. Mereka yang merasakan sensasi rijsttafel di atas kapal akan mendapatkan pengalaman tak terlupakan dalam menyantap selusin makanan sembari dilayani oleh iring-iringan para pelayan yang berbusana resmi.

“Dalam setiap jamuan, para pelayan yang dikerahkan bisa mencapai 20-30 orang, bahkan untuk sekadar melayani satu meja yang diisi satu atau beberapa orang. Para pelayan ini berdiri berjajar dengan kedua tangan memegang piring berisi hidangan. Artinya, jumlah hidangan yang disajikan kurang lebih dua kali lipat jumlah pelayan yang membawa dan mengantarkan hidangan ke meja para penikmat,” tutup Fadly.