Didik Rachbini: Dari Awal Pemerintah Tak Serius Menanggapi Masalah COVID-19

JAKARTA - Wacana pemerintah untuk melonggarkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan menerapkan kenormalan baru, menuai banyak kritik. Bahkan menurut ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Rachbini, masa-masa emas Indonesia kala masih menerapkan PSBB dilewati percuma begitu saja.

"Hal ini karena sejak awal pemerintah Indonesia tidak mengganggap permasalahan pagebluk COVID-19 ini adalah masalah yang serius," ujar Didik dalam video conference bersama wartawan, Selasa 2 Juni.

Apalagi, kata Didik, pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah di awal kasus positif di temukan cenderung tidak pasti. Sehingga, membuat masyarakat bingung.

"Analisis kualitatif saya terhadap keadaan golden time selama dua setengah bulan ini terlewatkan begitu saja. Jadi tidak maksimal hasilnya. Tidak maksimal itu ya tidak menghasilkan target yang kuat, janji untuk rapid test massal itu kan juga tidak terpenuhi. Jadi banyak denial, banyak berbicara simpang siur. Banyak blunder selama dua bulan dilakukan oleh aparat pemerintah," kata Didik.

Menurut Didik, komunikasi publik pemerintah yang tidak baik ini menunjukan ketidaksiapan pemerintah menghadapi masalah. Sehingga, kebijakan yang diambil tidak berdampak.

"Ini tidak karu-karuan, publik itu dihiasi oleh satu statement yang tidak karu-karuan. Kalau kominikasi tidak karu-karuan, kebijakan publiknya itu potensial gagal," tuturnya.

Sementara Ekonom Indef, Media Wahyudi Aksar menilai, alih-alih memperbaiki perekonomian nasional, upaya tersebut justru semakin membuat ekonomi ambruk.

Pemerintah berdalih, langkah itu dilakukan dengan tujuan agar masyarakat bisa kembali beraktivitas dan roda ekonomi bisa berjalan. Namun, Media mengatakan, faktanya pelonggaran PSBB justru semakin meningkatnya kasus positif COVID-19 di Indonesia.

"Memang ketika relaksasi ada perbaikan ekonomi. Tapi ketika ada peningkatan kasus, ekonomi akan ambruk lagi. Indonesia masih berada pada tahapan pembatasan masyarakat, masih banyak angka kasus dan kematian cukup tinggi," katanya.

Menurut Media, pemerintah seharusnya fokus menekan pertumbuhan COVID-19 ketimbang melakukan kenormalan baru. Keputusan memberlakukan kenormalan baru ataupun membuka aktivitas ekonomi, baru bisa terjadi jika sudah ada kepastian penurunan angka positif dan kematian akibat COVID-19.

Di sisi lain, dia mengaku, optimistis bahwa Indonesia punya peluang yang cukup baik untuk pulih secara ekonomi tanpa perlu buru-buru melonggarkan pembatasan. Salah satunya dengan fokus dalam penanganan kesehatan terlebih dahulu.

"Melakukan normal baru pembukaan ekonomi bukan jalan pintas, siapa yang mau belanja saat kasus masih meningkat. Indonesia masih punya peluang untuk recovery ekonomi asal jangan terburu-buru," jelasnya.

Lebih lanjut, Media berujar, relaksasi PSBB atau penerapan skenario normal baru hanya berdampak positif terhadap perekonomian untuk jangka pendek.

"Merayakan normal baru, artinya pandemi ini sudah teratasi dan kita bisa beraktivitas lagi, bukan dipaksakan untuk normal baru. Melakukan kebijakan yang tidak pro terhadap masyarakat rentan, tidak pro petani dan lebih menguntungkan pengusaha jangka pendek itu mungkin cukup bagus, tapi dua tahun ke depan terjadi ketimpangan ekonomi," ujarnya.

Awal Kebijakan PSBB

Sebelumnya, pemerintah mencoba menekan laju penularan COVID-19 di Tanah Air melalui kebijakan PSBB. Kebijakan ini menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirasa sesuai dengan kondisi di Indonesia.

Menurutnya, pengambilan kebijakan ini dilakukan setelah pemerintah mempelajari langkah negara lain menghadapi virus tersebut. Kebijakan ini juga menyesuaikan dengan kondisi negara Indonesia baik geografis, demografi, karakter budaya, kedisiplinan dan kemampuan fiskal.

Dengan kebijakan PSBB yang sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah, Jokowi menegaskan, kepala daerah tidak mengambil kebijakan yang berbeda dengan pemerintah pusat.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini memahami keinginan kepala daerah mencegah penyebaran COVID-19 di wilayahnya. Karenanya, dia mewajarkan adanya pembatasan transportasi dan pembatasan sosial yang dilakukan sejumlah daerah. Namun dia meminta, pemerintah daerah tetap mengikuti kebijakan pemerintah pusat dengan tidak melakukan kebijakan karantina wilayah ataupun kuncitara.

"Kalau ada UU tentang Kekarantinaan Kesehatan, ya, itu yang dipakai. Jangan membuat acara sendiri-sendiri sehingga dalam pemerintahan tidak dalam satu garis visi yang sama," tegasnya beberapa waktu lalu.

Dia menjelaskan, pemerintah pusat tak mengambil kebijakan kuncitara atau karantina wilayah karena menginginkan kegiatan ekonomi di tengah masyarakat tetap berjalan, meski harus menjaga jarak aman satu dengan yang lain atau physical distancing.

Sementara, lanjut Jokowi, kebijakan lockdown atau karantina wilayah berarti menghentikan semua aktivitas masyarakat secara total dan penghentian sarana transportasi pribadi maupun publik.

"Kita tetap ingin aktivitas ekonomi ada tetapi semua masyarakat harus menjaga jarak. Jaga jarak aman yang paling penting. Kita sampaikan sejak awal, social distancing, physical distancing, itu terpenting," ungkapnya.

Sementara Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai kebijakan PSBB ini sudah menampung masukan dari publik yang meminta karantina wilayah untuk memutus penyebaran virus tersebut dan membuat daerah leluasa melakukan pergerakan.