Buruh Sebut Vaksinasi Berbayar Bentuk Pemerasan kepada Rakyat, Kimia Farma pun Tunda Pelaksanaannya

JAKARTA - PT Kimia Farma (Persero) Tbk memutuskan untuk menunda penyelenggaraan vaksin COVID-19 gotong royong berbayar yang seharusnya digelar mulai hari ini. Penundaan ini seiring dengan munculnya polemik mengenai rencana tersebut.

Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno Putro menjelaskan bahwa penundaan dilakukan karena besarnya animo dan pertanyaan yang masuk.

"Kami mohon maaf karena jadwal Vaksinasi Gotong Royong Individu yang semula dimulai hari Senin, 12 Juli 2021 akan kami tunda hingga pemberitahuan selanjutnya," ujarnya saat dihubungi wartawan, Senin, 12 Juli.

Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya melakukan penundaan sembari melakukan sosialisasi vaksin berbayar serta pengaturan pendaftaran calon peserta vaksinasi.

"Besarnya animo serta banyaknya pertanyaan yang masuk membuat manajemen memutuskan untuk memperpanjang masa sosialisasi vaksinasi gotong royong individu serta pengaturan pendaftaran calon peserta," tuturnya.

Sekadar informasi, sebelumnya pemerintah berencana mulai menjual vaksin berbayar via Kimia Farma mulai Senin, 12 Juli. Program berjalan bersamaan dengan program gotong royong pengusaha yang dikritik lamban.

Adapun vaksinasi berbayar Kimia Farma dihargai senilai Rp879.140 untuk dua dosis bagi individu atau perorangan.

Namun, sebelum mulai dibukanya program vaksin berbayar tersebut, berbagai kritik pun berdatangan.Salah satunya adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Buruh Indonesia mendukung upaya pemerintah untuk melawan pandemi COVID-19 dengan cara melakukan vaksinasi. Namun, KSPI mempermasalahkan pemberian vaksin yang dilakukan secara berbayar oleh PT Kimia Farma Tbk.

Presiden KSPI Said Iqbal mengaku khawatir jika rencana vaksinasi berbayar Kimia Farma dilanjutkan. Ia menduga akan terjadi komersialisasi yang hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu.

"Setiap transaksi jual beli dalam proses ekonomi berpotensi menyebabkan terjadinya komersialisasi oleh produsen yang memproduksi vaksin dan pemerintah sebagai pembuat regulasi, terhadap konsumen dalam hal ini rakyat termasuk buruh yang menerima vaksin," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Senin, 12 Juli.

Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menilai bahwa kebijakan tersebut sebagai cara mencari untung dari rakyat. Ia juga mengakui kebijakan ini belum didiskusikan dengan DPR.

"Vaksinasi untuk mengatasi bencana non-alam seperti pandemi adalah tanggung jawab negara terhadap keselamatan rakyatnya. Setiap individu harus mendapat akses yang sama dan merata melalui vaksinasi gratis. Jadi, opsi vaksin berbayar seperti upaya mencari keuntungan dengan memeras rakyat," ujar Netty.