Sistem Infrastuktur Layanan Kesehatan di Indonesia Belum Optimal

JAKARTA - Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan program yang dirancang pemerintah untuk memberikan keadilan dalam akses layanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Namun, sistem infrakstruktur layanan kesehatan dalam negeri dinilai belum optimal.

Pengamat program JKN sekaligus akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Prastuti Soewondo mengatakan, tantangan terbesar ke depan di dalam pemberian layanan kesehatan adalah menciptakan suatu sistem layanan kesehatan yang berkualitas dan tahan banting terhadap perubahan kondisi yang ada. Contohnya yakni pagebluk COVID-19.

"Tapi kita juga tahu bahwa di dalam permasalahan ini bahwa sistem supply termasuk infrastruktur layanan kesehatan, bangunan, ketersediaan alat medis, SDM berkualitas, teknologi, dan informasi sistem itu memang belum optimal dan harus ditingkatkan," katanya, dalam diskusi daring dengan tema 'JKN Berkeadilan dan Berkesinambungan', Jumat, 29 Mei.

Tak hanya itu, Prastuti menilai, tantangan yang dihadapi ke depan adalah pendanaan yang ada sangat terbatas dan tidak fleksibel. Di mana ketika daerah harus membeli alat perlindungan diri (APD) mereka tidak mempunyai dana yang cukup. Sehingga tidak dapat merespons keadaan dengan cepat.

"Kami berpikir bahwa sistem pelayanan kesehatan yang tahan banting harus didukung dengan pembiayaan yang berimbang atau mencukupi," tuturnya.

Lebih lanjut, Prastuti mengatakan, jika ditanya adakah perbaikan setelah adanya program JKN, maka jawabannya adalah ada. Karena pembiayaan secara makro terlihat bahwa peran pembiayaan publik ini meningkat menjadi 53,8 persen dari total belanja kesehatan nasional pada 2018.

"Tetapi sebenarnya total pembiayaan ini tidak berubah, jumlahnya ini secara proporsi terhadap gross domestic product (GDP) itu stagnan selama 10 tahun. Angka 3,1-3,2 persen ini sangat rendah dan hanya sedikit di atas Laos dan Kamboja," jelasnya.

Prastuti menilai, Indonesia memang kekurangan anggaran untuk sektor kesehatan. Sekitar 43 persen dari total belanja publik itu dikelola oleh BPJS. Pada 2018 BPJS mengelola Rp105 triliun dan mayoritas adalah untuk rumah sakit yakni 85 persen.

"Ke depannya kita harus coba keseimbangan pembiayaan karena kita tahu rumah sakit itu high cost, high technology, sehingga ke depannya kita harus fokuskan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) supaya lebih efisien dan efektif," katanya.

Belanja Layanan Kesehatan Rendah Persulit Pelacakan Kasus COVID-19

Lemahnya tracing atau pelacakan terhadap terhadap kasus pasien terinfeksi COVID-19 dinilai sebagai salah satu akibat dari rendahnya alokasi anggaran untuk sektor kesehatan. Dari total anggaran belanja kesehatan, sebagian besar atau sekitar 77,1 persen digunakan untuk pelayanan yang sifatnya kuratif dan rehabilitatif.

Lebih lanjut, Prastuti mengatakan, anggaran untuk layanan yang sifatnya preventif dan promotif sangat kecil, hanya sekitar 19,3 persen dari total belanja di bidang kesehatan.

"Misalnya untuk imunisasi hanya 1,4 persen, untuk penanganan penyakit yang tidak menular, seperti diabetes, kolesterol, jantung dan sebagainya itu banyak sekali, sebenarnya itu kan bisa dikendalikan dengan health education atau screening," jelasnya.

Menurut Prastuti, untuk bisa menjaga keberlanjutan layanan kesehatan di Indonesia baik jangka menengah dan panjang, pemerintah harus mematok porsi tertentu belanja kesehatan.

"Thailand contohnya, mengalokasikan 20 persen untuk public health activities, mereka prevention promotion-nya cukup kuat, sehingga sistem kesehatan mereka secara keseluruhan cukup andal," tuturnya.