Mengenal Siapa Siti Fadilah Supari
JAKARTA - Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan RI Kabinet Indonesia Bersatu periode 2004-2009. Keterlibatannya dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berlanjut pasca berakhir sebagai Menkes, dengan masuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Sejak tahun 2010 sampai 2014. Sepak terjang wanita yang spesialis di bidang jantung ini mencuat saat ia berkonfrontasi dengan organisasi kesehatan internasional (WHO). Keresahan yang muncul dikarenakan tak ada keterbukaan dan kejelasan soal pandemi virus flu burung yang menyerang Asia Tenggara, terutama ia menyorot bagaimana prosedur pengiriman sampel virus dari Indonesia, tak bisa dipertanggung jawabkan pasca selesainya WHO meneliti di Hongkong, laboratorium perwakilan resminya.
Siti Fadilah Supari adalah sosok yang cakap saat berdiplomasi tingkat tinggi. Terbukti, ia bisa dan andal dalam menggalang suara dukungan sponsor dari berbagai negara peserta WHO. Sewaktu bersidang di depan WHO dan WHA (World Health Assembly), sebuah lembaga di atas WHO yang berperan dalam menentukan berbagai kebijakan --program WHO ke depan, Siti Fadilah tampil lugas penuh keberanian, menyuarakan berbagai kritik dan saran demi lahirnya sebuah reformasi dalam aturan protokol, demi dunia yang lebih baik.
Di masa kepemimpinannya, Kementerian Kesehatan bisa mengumpulkan dana kas negara sebesar Rp 51 triliun lewat program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), tanpa dipungut biaya apapun kepada masyarakat.
Siti Fadilah Supari kini mendekam di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Pada tanggal 6 Juni 2017 ia telah divonis bersalah atas 2 dakwaaan semasa ia sebagai Menteri Kesehatan. Kesalahan penggunaan kewenangan dan menerima gratifikasi dari rekanan berupa cek travel perjalanan (cheque travel).
Siapa Sebenarnya Siti Fadilah Supari
Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) adalah akademisi yang merelakan hidupnya untuk dunia medis, ia adalah spesialis jantung dan kardiologi. Sumbangsihnya bersama Rumah Sakit Harapan Kita lebih dari 25 tahun lamanya. Perannya semakin intens saat dipercaya menjabat sebagai Kepala Unit Penelitian Yayasan Jantung Indonesia dan Kepala Pusat Penelitian Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Kesibukan istri Ir. Muhammad Supari di luar lingkungan Rumah Sakit adalah mengajar di Universitas Indonesia. Profesi inilah yang menjadi awalan karirnya dulu bermula. Ia mengajar untuk bidang kardiologi. Ia juga terpilih sebagai dosen tamu Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan dosen tamu dan dosen tamu pascasarjana jurusan epidemiologi.
Meraih gelar S1 di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada angkatan 1972. Lalu merengkuh gelar S2 dan S3 di Universitas Indonesia di tahun yang berbeda. Gelar S2 didapatkannya tahun 1987, lanjut melengkapi S3 di tahun 1996 dengan fokus studi Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah.
Ibu beranak tiga ini masuk ke dalam dunia pemerintahan saat presiden Susilo Bambang Yudhoyono memenangi kontestasi pemilihan langsung presiden oleh rakyat di tahun 2004. Siti Fadilah Supari didapuk sebagai Menteri Kesehatan Indonesia Bersatu I untuk masa bakti 2004 hingga 2009. Selepasnya sebagai Menkes, ia masuk ke dalam Anggota Dewan Pertimbangan Presiden untuk Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Rakyat sejak tahun 2010 hingga 2014.
Siti Fadilah Melawan WHO Hingga Bill Gates
"Musuh saya besar, jadi saya kalah. Saya bukan salah, tapi saya kalah," bunyi pembelaannya ketika Deddy Corbuzier berhasil menemuinya di kala waktu senggang saat masa pengobatannyadi RSPAD, Gatot Subroto Jakarta Pusat, Mei 2020.
Argumennya terucap dikarenakan sikap apriori WHO yang terlalu cepat menyimpulkan apa yang terjadi di Tanah Karo, Sumatra Utara, disebabkan adanya akibat transmisi virus flu burung, tak lagi sekedar hewan unggas, namun telah berubah menjadi human to human transmision (manusia ke manusia). Terang saja ditolaknya mentah, karena terlalu dini dan sembrono mengasumsikan.
Pembelaan WHO berdasarkan aspek ilmu epidemologi, itu tak bisa menjadi landasan ilmiah yang akurat. Sementara Siti Fadilah, dibantu lembaga Eijkman, menyatakan virus flu burung belum bermutasi dan mampu bertransmisi dari manusia ke manusia (human to human transmission). Dari sinilah hingga nanti ia berani menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tak bisa dipolitisasi lewat sebuah permainan labelisasi pandemi.
Bilamana telah terjadi transmisi dari manusia ke manusia menurut WHO, secara sederhana sudah pasti korban pertama yang berjatuhan adalah para petugas medis sebagai garda terdepan berhadapan langsung dengan para korban pengidap flu burung, itu pikirnya sederhana.
Lalu hal kedua, ia menggugat kejelasan dan transparansi bagaimana prosedur virus sharing yang telah dikirimkan ke laboratorium WHO di Hong Kong. Karena kecurigaannya beralasan, ketika hasil yang dicobanya sendiri di laboratorium Litbangkes dengan hasil WHO punya tak berbeda. Munculah pertanyaan kritis yang mengganggu pikirannya, kenapa harus menunggu selama 5-6 hari untuk mendapatkan hasilnya?
Lalu sembari menunggu, datanglah pedagang dari korporasi besar industri farmasi menawarkan diagnostic rapid test flu burung. Anehnya, metode acuan sampel virus malah menggunakan virus strain dari Vietnam, tak sama dengan apa yang didapatkan di Indonesia. Ia mencium ada permainan di kalangan WHO dengan para korporasi produsen vaksin dan semacamnya. Karena, ketika sampel virus dikirimkan, lalu menjalani risk assesment, kemudian mendiagnosa, maka terciptalah seed virus. Bagian terakhir itulah yang akan dijadikan untuk membuat vaksin.
Jadi, Siti Fadilah mencium adanya permainan dengan skema: virus terjadi di negara-negara epidemi, WHO meminta sampel virus berdalih dilakukan riset lebih dulu di lab mereka, kemudian dalam kurun waktu 5-6 hari setelahnya hasil penelitian bisa diketahui, setelahnya karena tak ada kejelasan dan lemahnya pengawasan negara-negara pendonor, maka virus tersebut tak jelas diapakan keberadaannya. Di sinilah proses bisnis kesehatan akan terlihat nanti, di mana vaksin dibuat oleh negara-negara maju dan negara yang menderita epidemi justru diharuskan membeli produk hasil korporasi mereka.
Belakangan, di tengah virus Corona menerpa, ia menyarankan keras agar pemerintah dan publik jangan mau untuk mengikuti anjuran seorang Bill Gates. Filantropis yang mengalihkan sebagian besar kekayaannya sebagai pendonor terbesar bagi WHO, lewat yayasan The Bill & Melinda Gates Foundation (TBMF).
Dilansir Forbes, yayasan yang telah berdiri sejak tahun 2000 itu telah sepakat menyumbang sebesar 300 juta dolar demi pencegahan pandemi COVID-19 secara global lewat WHO sebagai eksekutor di lapangan.
Menghibahkan uangnya dalam jumlah yang sangat besar, menjadikan posisi seorang Bill Gates sebagai dokter paling berpengaruh dan berkuasa di dunia, berlindung di balik WHO.
Kembali ke Siti Fadilah. Lewat sikapnya yang keukeuh dan tak mengenal negosiasi, bahwa bilamana WHO meminta untuk dikirimkan sampel spesimen virus H5N1 dari Indonesia, maka harus dilengkapi dengan material transfer agreement (MTA). Bila tak sepakat, maka tak ada pengiriman. Karena lewat MTA, maka WHO atau siapapun lembaga non-profit penerima sampel virus hanya bisa menggunakan untuk kegiatan penelitian, dan tak bisa dikomersilkan.
Siti Fadilah hanya mau mengirimkan sampel spesimen Virus H5N1 bila WHO melengkapi dengan material transfer agreement (MTA). Dengan adanya MTA, maka WHO atau siapapun negara penerima sampel virus hanya bisa menggunakannya untuk kegiatan penelitian, dan dilarang keras dikomersilkan.
Akibat perlawanan seorang Siti Fadilah Supari, memaksa WHO akhirnya merevisi aturan virus sharing di dunia, sehingga lebih transparan dan menghargai hak-kedaulatan Indonesia juga negara lainnya yang terlibat. Lewat kepandaiannya berdiplomasi mencari dukungan sponsor berbagai negara yang dianggapnya mampu membantunya demi dunia yang lebih baik, berbuah manis. Karena itu pula, membawa nama Indonesia masuk ke dalam eksekutif komite WHO, sebuah lembaga yang mengatur mekanisme prosedur permasalahan virus dan penanggulangannya.
Lahirnya Sharing Influenza Viruses and Access to Vaccine yang mana hal ini menjadi pengikat anggota-anggota WHO dan pihak swasta serta industri farmasi untuk melindungi global public health dengan prinsip kesetaraan, transparansi, adil, dan menguntungkan semua pihak.
Sampai ia merasa perlunya sebuah karya ilmiah untuk mengabarkan apa yang terjadi sebenarnya pada dunia kesehatan global, maka dirilislah buku hasil tuliisannya sendiri, "Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung." Buku ini --kata Siti Fadilah-- adalah ilmiah. Sengaja ia mengundang empat panelis dari kalangan ilmuwan untuk membedah semua argumen di dalamnya. Keempat ilmuwan ini berasal dari Universitas Airlangga Surabaya, yakni Prof. Rika Subarniati, dr. SKM., Dr.Teguh Sylvaranto,dr,Sp.An KIC; Dr. J.F.Palilingan,dr.SpP(K) dan Drs. Bagong Suyanto, Msi,
Siti Fadilah Supari memang bukan sosok sembarang yang diajak SBY ke dalam pemerintahan perdananya. Siti Fadilah diketahui sebagai wanita yang tegas, lugas, dan berkeinginan Indonesia dan rakyatnya menikmati fasilitas kesehatan yang adil dan mudah.
Sampel virus flu burung yang telah dikirim ke laboratorium rujukan WHO di Hong Kong, secara diam-diam dijual ke negara maju. Harga virus flu burung dilego kisaran 90 triliun per jenis virus. Sementara itu, sejak avian influenza melanda negeri ini, Indonesia telah mengirim sample sebanyak 58 jenis.
Peran Keterlibatan NAMRU-2
Jauh sebelum isu pandemi virus, eksistensi peran NAMRU-2 (NR-2) di Indonesia sebenarnya sudah dicurigai sebagai kegiatan mata-mata. Menguntungkan pihak asing di berbagai sektor, kesehatan, militer, intelijen dan pertahanan. Ditelisik lebih lanjut, NR-2 sangat memiliki keistimewaan yang sebenarnya menginjak-injak kedaulatan bangsa ini.
The US Naval Medical Research Unit Two, Unit Pelayanan Medis Angkatan Laut Amerika, dikenal dengan NAMRU-2 (NR-2). Sebuah unit lembaga riset milik Amerika Serikat di bawah tanggung jawab Angkatan Laut yang fokus melakukan studi riset penelitian ilmiah terhadap penyakit - virus menular di daerah iklim tropis. Eksistensinya sudah ada di Indonesia sejak tahun 1970 atas permintaan Departemen Kesehatan RI saat itu.
Kecurigaan terhadap laboratorium yang mempekerjakan 20 staf berkebangsaan Amerika Serikat dan 168 warga negara Indonesia ini makin marak di tahun 2007. Berdalih atas nama riset penelitian dunia ilmu pengetahuan, NR-2 mirisnya banyak dihuni staf asing berprofesi militer. Staf asing non-WNI memiliki kekebalan diplomatik yang tak bisa disentuh karena berada di bawah yuridiksi Kedutaan Besar Amerika Serikat langsung. Jadi, staf NR-2 bebas hilir mudik semau mereka kapan pun tanpa boleh disentuh aparat hukum Indonesia.
Diamini oleh Laksamana Muda (Purn) Subardo, mantan Kepala Lembaga Sandi Negara periode 1986-1998 dengan pengalaman 30 tahun di bidang intelijen. Memang gamblang NR-2 adalah alat intelijen AS di balik tameng sebuah lab penelitian.
Menurut penelitian Institute of Medicine, NR-2 telah mengumpulkan sekitar 300 sampel virus di Indonesia pada tahun 2001. Sampel virus yang diperoleh dari seluruh Rumah Sakit di Indonesia.
Ibu Menkes semakin gerah karena dirinya pernah ditolak masuk ke dalam laboratorium NR-2 di daerah Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Padahal, bangunan itu berdiri di atas tanah milih Departemen Kesehatan. Memuncaklah ketidaksukaan Siti Fadilah adanya NR-2 di Indonesia, jelas merendahkan kedaulatan Indonesia di rumahnya sendiri.
Ada yang unik entah kebetulan, setelah berakhirnya MoU antara pihak pemerintah AS dan Indonesia terkati NR-2, Indonesia terserang pandemi virus flu burung. Sepak terjang NR-2 akhirnya benar-benar berakhir dan ditutup lewat keputusan Siti Fadilah dengan SK Menkes Nomor 919 Tahun 2009.
Perjalanan Sebagai Menteri Kesehatan
Pencapaiannya saat menjalani masa sebagai Menkes RI di kabinet SBY terbilang progresif. Kebijakannya cukup membantu SBY di sektor kesehatan rakyat. Pengalaman sebelumnya Siti Fadilah Supari menghadapi pandemi virus flu burung, membantu kegagalan flu babi (H1N1) menyerang Indonesia di tahun 2009.
Ia memperkuat upaya pembudayaan hidup bersih dan sehat demi mencegah penyebaran penyakit berbasis lingkungan lewat Surat Keputusan Menkes RI Nomor 852 Tahun 2008. Dalam keputusan resmi itu, ia juga mendorong peran pemerintah untuk ikut berkomitmen meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar demi Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015.
Mewajibkan standarisasi bagi semua Rumah Sakit agar memiliki unit Instalasi Gawat Darurat di Indonesia demi pelayanan disertai penanganan cepat untuk publik lewat Surat Keputusan Menkes RI Nomor 852 Tahun 2008
Di bawah kepemimpinannya, Kementerian Kesehatan berhasil mengantisipasi meluasnya wabah flu burung dan menurunkan harga eceran obat tertinggi saat itu. Bagaimana program kesehatan publik Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bisa melayani publik tanpa dipungut iuran apa pun, sehingga dana kas negara diakuinya terkumpul dan tercatat rapih senilai Rp51 triliun.
Bahwa dalam rangka mengoptimalisasikan dan mengintegrasikan semua upaya keperawatan kesehatan di Puskesmas agar pelayanan yang diberikan bermutu, holistik dan komprehensif perlu adanya suatu Pedoman. Dikembangkannya dengan Keputusan Menteri Nomor 279 Tahun 2006. Standarisasi terkait profesi Radiografer juga dicetuskannya dengan Keputusan Menkes Nomor 375 tahun 2007.
Ketika menghadapi virus flu burung, ia menyiapkan enam langkah skala nasional sebagai langkah keluar. Dengan menyiapkan 44 unit rumah sakit rujukan seluruh Indonesia untuk kasus avian flu setipe H5N1 dan 8 unit laboratorium di delapan provinsi penting di Indonesia demi pengujian spesimen pasien korban. Menitikkan pada pentingnya sebuah prosedur pengurusan harus cepat dan sangatlah mudah.
Tak berhenti di situ. Kegigihannya terus berlanjut dengan mengejar WHO agar mengembalikan 58 sampel virus yang terlanjur dikirim.
Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi,”
Sepeninggal jabatannya sebagai Menkes, SBY menunjuk Endang Rahayu Sedyaningsih. Endang Rahayu semasa tugasnya dulu juga pernah dimutasi oleh Siti Fadilah saat ketahuan membawa sampel virus ke luar Indonesia.
Fakta Menarik Siti Fadilah Supari
Efek Siti Fadilah Supari di Mata Internasional.
Efek akibat kejadian yang dilakukannya, berhasil membawa masuk nama Indonesia ke dalam anggota eksekutif komite di WHO. Menjadi satu di antara sebelas negara yang menjadi pemrakarsa-pengatur kebijakan mekanisme global perihal transparansi hingga prosedur protokol penelitian virus.
Talk Show Reguler.
Ketika menjabat sebagai Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari bersama Metro TV memiliki acara talkshow Bincang-Bincang Bareng Bu Menkes. Dipandu komedian Denny Chandra dan Kelik.
Petisi Demi Kebebasan.
Hingga sekarang, sudah sekitar 30 ribuan dukungan petisi via situs change.org yang mendukung agar dirinya dibebaskan. Petisi yang diinisiasi oleh rekan sejawatnya yang berprofesi dokter, dr. Nyoman Kusuma.
Tokoh Revolusi Pendobrak.
Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.
Rumah Sakit Siti Fadilah
Sosoknya diabadikan lewat sebuah nama Rumah Sakit yang dibangun organisasi Islam Muhammadiyah di kota Palu, Sulawesi Tengah. Sebagai bentuk dukungan Muhammadiyah pasca bencana tsunami, demi rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan dukungan Muhammadiyah dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana.
***
Profil Siti Fadilah Supari
Nama Lengkap
Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K)
Tempat dan Tanggal Lahir
Solo, 6 November 1950
Profesi
Dokter, Akademisi
Agama
Islam
Pasangan
Ir. Muhammad Supari
-
Pendidikan
S-3, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI),
Jakarta, 1996
S-2, Spesialis Pembuluh Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI),
Jakarta, 1987
S-1, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK-UGM),
Yogyakarta, 1976
SMA Negeri 1 Surakarta,
Solo, Jawa Tengah
-
Perjalanan Karir
2010-2012
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Rakyat
2004-2009
Menteri Kesehatan RI Kabinet Indonesia Bersatu
Tim Ahli Spesialis Jantung RS. Harapan Kita
Staf Pengajar Bagian Kardiologi Universitas Indonesia
-
Penghargaan
Bintang Mahaputra Adipradana (2011)
Alumni Beprestasi Universitas Gadjah Mada (2010)
Anthony Mason Award dari Universitas South Wales (1997)
The Best Investigator Award Konferensi Ilmiah tentang Omega 3 di Texas Amerika Serikat (1994)
Best Young Investigator Award dalam Kongres Kardiologi di Manila, Filipina (1988)
The Best Investigator Award Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1987)