Tanpa Artidjo Alkostar, Mahkamah Agung Suka Beri Diskon Hukuman Koruptor
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) jadi sorotan karena menyunat hukuman pidana yang dijatuhkan pada mantan Sekjen Partai Golkar, Idrus Marham yang terjerat dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1. Hal ini lantas menimbulkan spekulasi beragam, termasuk melemahnya MA dihadapan koruptor pasca pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar.
Idrus yang dalam kasus PLTU Riau-1 dianggap membantu mantan anggota DPR Eni Maulani Saragih untuk mendapatkan suap dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo, hukumannya dipotong dari lima tahun penjara menjadi dua tahun penjara.
Dilhat pada website Mahkamah Agung, Ketua Majelis Hakim Agung Suhadi dengan anggota Krisna Harahap dan Prof Abdul Latief sepakat mengurangi hukuman Idrus karena Idrus bukanlah penentu dalam proyek yang dilobi oleh Eny Saragih dan Johanes.
Sunat hukuman ini kemudian ditanggapi oleh pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Dia menilai, ada peningkatan tren potongan masa hukuman setelah MA ditinggal Artidjo Alkostar yang jadi momok para koruptor.
"Pasca Hakim Agung Artidjo pensiun, sepertinya tidak ada lagi yang punya 'kekuatan moral' menjaga dan menahan libido koruptif pada hakim-hakim di MA," kata Fickar kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 6 Desember.
Fickar membeberkan beberapa contoh seperti bebasnya terdakwa kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), Syafruddin Arsyad Tumenggung. Menurutnya, ada pelanggaran etik yang terjadi sebelum Syafruddin diputus bebas oleh MA, yaitu adanya pertemuan antara Hakim Adhoc MA Syamsul Rakan Chaniago dengan kuasa hukum Syafruddin.
Selain itu, ada juga Idrus Marham yang disunat hukumannya jadi dua tahun penjara dan ada juga kasus lain yang nyatanya luput dari perhatian, menurut Fickar. "MA belakangan ini sudah beberapa kali memutus lepas terdakwa korupsi. Kemudian kemarin, MA baru saja memutus lepas Fredrick Siahaan dalam kasus Blok BMG PT Pertamina," ungkapnya.
Padahal dalam memutus satu perkara, kata Fickar, Hakim Agung dibatasi oleh tiga norma yang harus dipegang. Pertama soal kepastian hukum atau dibatasi undang-undang. Dia mencontohkan dalam pemotongan masa pidana Idrus Marham. Dalam putusannya di Pengadilan Tipikor, Idrus hanya divonis tiga tahun.
Kemudian saat banding, masa hukuman politikus Partai Golkar ini ditambah jadi lima tahun. Dari penambahan masa hukuman itu, Fickar menyebut Idrus terbukti melakukan perbuatan yang merugikan negara dan MA justru mengingkarinya dengan meringankan hukumannya saat proses kasasi berlangsung.
Norma kedua yakni putusan yang kontekstual, atau mengandung rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Hakim Agung, menurut Fickar, perlu menimbang respons masyarakat terkait koruptor. Hal ini tak terlihat, karena Idrus yang terbukti bersalah malah diringankan hukumannya.
Ketiga, adalah menimbang kebebasan Hakim Agung dalam memutus perkara. Apakah kebebasan itu digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri atau memberikan manfaat bagi masyarakat.
Fickar menegaskan kepentingan hakim harusnya ada pada rasa keadilan, kecuali mereka menerima suap. "Jadi penggunaan kebebasan itu sebuah pilihan yang seharusnya memenuhi tiga kepentingan itu sekaligus," tegasnya.
Ke depan, dia berharap komite pengawas hakim seperti Komisi Yudisial atau Badan Pengawas MA bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Sebab, penyunatan masa hukuman ini bisa jadi preseden buruk jika terus terjadi. "Tindakan pengawasan saja diperketat dan hukum dijalankan dengan tegas," ujar Fickar.
Selain Idrus dan Syafruddin, MA memang akhir-akhir ini kerap melakukan penyunatan hukuman di tahun 2019. Adapun mereka yang dipotong masa tahanannya adalah:
1. Helpandi
Penyunatan masa hukuman terdakwa kasus suap hakim ini diputus baru-baru ini oleh MA. Pada perkara nomor 3784 K/PID.SUS/2019, majelis mengurangi hukuman Helpandi jadi enam tahun.
Awalnya, di bulan April 2019, Pengadilan Tipikor memvonis Helpandi dengan hukuman tujuh tahun penjara. Putusan itu kemudian dikuatkan pengadilan tinggi DKI. Namun, setelah kasasi dikabulkan MA, masa hukuman Panitera Pengganti PN Medan itu berkurang dari tujuh tahun menjadi enam tahun.
2. M Sanusi
MA menyunat hukuman bagi eks anggota DPRD DKI Jakarta ini pada awal November 2019. Sanusi terlibat korupsi perizinan reklamasi Pantai Jakarta itu awalnya divonis tujuh tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta. Jaksa KPK mengajukan banding dan pengadilan tinggi memperberat hukuman Sanusi menjadi 10 tahun.
Tak terima, Sanusi pun melakukan proses Peninjauan Kembali, hasilnya Mahkamah Agung kemudian menyunat hukuman Sanusi dari 10 tahun menjadi tujuh tahun penjara.
3. Tarmizi
Pada akhir Oktober 2019, MA memangkas hukuman penitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu. Awalnya, Tarmizi diganjar hukuman empat tahun penjara karena menerima suap terkait kasus perdata ini.
Hukuman tersebut dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta pada Maret 2018. Awalnya dia menerima, lalu, dia mencoba mengajukan Peninjauan Kembali. Hasinya, MA mengurangi masa hukuman Tarmizi jadi tiga tahun.
4. Irman Gusman
Mantan Ketua DPD ini juga ikut menikmati pemotongan masa hukuman di akhir September 2019. Diketahui, pada Februari 2017, Irman divonis penjara 4,5 tahun di pengadilan Tipikor karena terbukti menerima suap dan mengatur pemberian kuota gula impor.
Tak terima, Irman lantas mengajukan PK pada akhir 2018. Pengajuan tersebut kemudian dikabulkan MA dan hukuman Irman dipangkas dari 4,5 tahun menjadi 3 tahun.
5. Patrialis Akbar
Eks Hakim Mahkamah Konstitusi ini menikmati pemangkasan hukuman oleh MA di akhir Agustus 2019. Hukuman penerima suap Judicial Review ini disunat pada tingkat Peninjauan Kembali.
Jika di Pengadilan Topikor, Patrialis divonis delapan tahun penjara, setelah pengajuan tersebut, Mahkamah Agung memotong masa hukumannya menjadi tujuh tahun penjara.
6. Tamin Sukardi
Di akhir Mei 2019, hukuman eks Direktur Utama PT Erni Putra Terari itu disunat MA. Peringanan hukuman ini dilakukan di tingkat kasasi.
Terdakwa penyuap hakim di Pengadilan Negeri Medan itu divonis menjalani hukuman 5 tahun penjara oleh MA. Padahal di awal April 2019 yang lalu, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Tamin dengan hukuman 6 tahun penjara.
Dia pun mengajukan banding, dan hasilnya Pengadilan Tinggi Medan memperberat hukuman Tamin menjadi 8 tahun penjara. Namun, di tingkat kasasi, MA malah menyunat hukuman pengusaha itu menjadi 5 tahun penjara.
7. Choel Mallarangeng
Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangeng menikmati pemotongan masa hukuman pada 19 Maret 2019. Sebelumnya, dia dijatuhi hukuman 3,5 tahun.
Namun vonis yang diputus Pengadilan Tipikor pada 6 Juli 2017 itu harus kandas di tingkat Peninjauan Kembali. Koruptor proyek wisma atlet Hambalang itu hanya menjalani hukuman selama 3 tahun.