Pengajuan JC Eks Pejabat Kemensos Dinilai Timbulkan Konflik Kepentingan

JAKARTA - Permohonan justice collaboratore (JC) mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Sosial (Kemensos) Matheus Joko Santoso dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. 

Hal ini lantaran Matheus Joko merupakan terdakwa dan juga saksi mahkota dalam kasus dugaan suap pengadaan bansos Covid-19. Demikian disampaikan Ahli hukum pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno saat menjadi ahli di Pengadilan Tipikor Jakarta.

"Kalau saksi mahkota itu, karena melihat adanya konflik kepentingan antara yang bersangkutan memerankan sebagai saksi, itu bertentangan dengan kepentingan dia saat mememarankan sebagai terdakwa. Ini harus dicermati betul, dalam KUHAP sepertinya dilarang," kata Basuki dikutip Selasa, 29 Juni.

"Sebetulnya dalam KUHAP, kalau ada orang melakukan perbuatan pidana, mestinya harus digabung, bukan dipecah. Kalau dipecah efeknya akan jadi saksi mahkota, kita bicara umumnya aja kalau seorang terdakwa, kalau jadi saksi, nalurinya akan mengamankan dirinya sendiri," sambungnya.

Dia meminta, Majelis Hakim bisa teliti memperhatikan kesaksian dalam setiap proses persidangan. Tidak bisa sembarang memberikan JC, terlebih kepada terdakwa.

"Harus benar-benar memperhatikan, keterangan yang benar-benar dalam poisisinya dia sebagai saksi dan terdakwa," ujar Basuki.

  

Sementara itu, pengacara Juliari Peter Batubara Maqdir Ismail menyatakan, justice collaborator itu hanya bisa diberikan kepada orang yang bukan merupakan pelaku utama. Kedudukan sebagai justice collaborator yang diminta oleh Matheus Joko Santoso karena adanya keterangan membongkar pelaku lain dalam tindak pidana dan imbalan yang dia peroleh adalah janji keringanan hukuman.

"Pemberian status ini akan merusak sistem tawar-menawar yang disyaratkan oleh kedudukan justice collaborator. Tidak akan ada kasus ini, kalau tidak ada tangkap tangan terhadap MJS," ucap Maqdir.

Maqdir mengutarakan, justice collaborator yang dijual dengan harga kesaksian, seharusnya dianggap sebagai jual beli kesaksian. Sehingga nilai dari kesaksian sudah tidak objektif lagi, karena Matheus Joko Santoso  memberikan kesaksian hanya dengan iming-iming bayaran berupa status justice collaborator. 

Malah dia menegaskan, bahwa status justice collaborator hanya bisa diberikan kepada orang yang bukan merupakan pelaku utama. Sebab kuat dugaan dalam kasus bansos ini justru MJS yang menjadi pelaku utama.

"KPK memberikan status justice collaborator bukan untuk tujuan mengungkapkan kebenaran materiil, tetapi untuk mendapatkan bayaran dari Matheus Joko Santoso  berupa kesaksian. Dengan demikian, maka Ketika status sebagi justice collaborator disematkan kepada Matheus Joko Santoso, maka tindakan ini melanggar hukum," pungkasnya.