Bandar Sabu 802 Kg Hanya Divonis 20 Tahun Penjara, Komisi III DPR: Harusnya Hukuman Mati!
JAKARTA - Komisi III DPR mempertanyakan sanksi ringan bagi warga negara asing (WNA) pemilik narkotika sebanyak lebih dari 800 kilogram, yang dijatuhi hukuman hanya 20 tahun penjara. Meskipun vonis hukuman terhadap para bandar tersebut adalah murni kewenangan hakim.
"Tentu itu kewenangan majelis hakim. Tapi melihat dampak yang ditimbulkan, tentu yang pas adalah hukuman mati," ujar Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKB Jazilul Fawaid kepada wartawan, Senin, 28 Juni.
Wakil ketua MPR itu mengimbau agar semua lapisan khususnya aparat peradilan sadar diri dan tidak setengah hati memberantas narkoba. "Zero tolerance untuk narkoba," tegas Jazilul.
Dia mengungkapkan, sebenarnya saat ini Indonesia sudah masuk fase darurat narkoba. Narkoba, menurut koordinator nasional nusantara mengaji itu, sudah menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia.
"Tengoklah lapas kita penuh karena napi kasus narkoba. Jadi sekali lagi, kalau hukuman cuma 20 tahun ini sangat ringan. harusnya hukuman yang berat dan maksimal. Harusnya majelis hakim memberikan hukuman berat seperti hukuman mati. Saya yakin hukuman mati ini akan menimbulkan efek jera dan menghambat laju kejahatan Narkoba ke depan," tandas pria yang akrab disapa Gus Jazil itu.
Sementara, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Habiburrahman mengaku belum membaca pertimbangan majelis hakim yang meringankan kedua orang itu. Namun, jika tidak ada fakta yang meringankan, potongan hukuman terlalu besar.
“Harusnya dengan bukti sebanyak itu (800 kg narkoba, red) hukuman mereka minimal seumur hidup,” katanya.
Baca juga:
- Anggota DPR Pertanyakan Pengurangan Hukuman Terpidana Narkoba
- Dua petani di Kalsel Ditangkap Polisi karena Edarkan Narkoba Jenis Sabu dan Ekstasi
- BNN Jatim Musnahkan Ekstasi dan 6,4 Kg Sabu Barang Bukti Penangkapan 4 Tersangka
- Lonjakan Kasus COVID-19, Tim Mitigasi IDI: Fasilitas Layanan Kesehatan Punya Keterbatasan
Habiburrokhman meyakini, putusan Pengadilan Tinggi (PT) Banten itu akan berdampak buruk bagi pemberantasan narkoba di Indonesia. Pasalnya, pengedar narkoba takkan jera karena vonisnya yang terlalu kecil.
“Ya tentu saja akan berdampak dan melemahkan semangat aparat kita melawan narkoba,” katanya.
Kendati demikian, politikus Gerindra itu menilai tak perlu ada pemeriksaan secara khusus terhadap hakim PT Banten. Menurutnya, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial (KY) hanya boleh memeriksa secara rutin saja. Sebab, Hakim tidak boleh diperiksa secara khusus hanya karena putusannya.
"Terkecuali ada bukti pelanggaran kode perilaku," tandasnya.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) Banten menganulir hukuman mati ke bandar sabu, Bashir Ahmed dan Adel menjadi 20 tahun penjara. Keduanya adalah pemilik sabu 821 kilogram yang dikirim dari Iran melalui perairan Tanjung Lesung wilayah Banten Selatan.
Bashir Ahmed bin Muhammad Umear adalah WNA asal Pakistan. Sedangkan Adel bin Saeed Yaslam Awadh WNA asal Yaman.
Kasus berawal akhir Februari 2020 Bashir dan Adel tiba di Indonesia dan menginap di apartemen milik Adel di kawasan Pejaten Timur, Jakarta Selatan. 10 hari tinggal di Jakarta, Bashir di telepon Satar yang merupakan DPO dalam kasus ini yang isinya 'barang sabu akan dikirim ke Indonesia'.
Setelah mendapat arahan bahwa sabu akan tiba di Indonesia, Bashir meminta Adel membantunya karena Adel ini sudah lama tinggal di Indonesia. Setelah disetujui Adel, Bashir saling berbagi lokasi dengan Satar melalui WhatsApp.
Setelah tahu keberadaan Satar, Bashir meminta Adel mencari tempat untuk menyimpan barang berupa sabu yang lokasinya tidak jauh sesuai di alat GPS Satar. Adel bilang lokasi di GPS itu berada di Tanjung Lesung, lalu Adel menyanggupinya dan menuruti perkataan Bashir.
Singkat cerita sesampainya mereka di Tanjung Lesung, Banten, Bashir dan Adel mencari tempat untuk bisa menyimpan sabu hingga akhirnya ditemukan sebuah ruko yang harga sewanya Rp15 juta selama 1 tahun. Penjemputan sabu itu dilakukan dengan cara yang sama yakni Bashir dan Adel membawa mobil yang disewa, kemudian menemui Satar yang berada di kapal di pinggir pantai.
Sabu yang dijemput Bashir dan Adel dalam dakwaan ada sebanyak 390 bungkus. Masing-masing bungkus itu seberat 1 kilogram.
Penjemputan sabu ini terjadi lagi pada Mei 2020, Bashir kembali dihubungi Satar kemudian dijemput di pinggir pantai. Kali ini, jumlahnya ada 430 bungkus juga seberat 1 kilogram.
Pengambilan sabu kedua itu adalah yang terakhir. Sebab, selang beberapa hari setelah dia mengambil sabu itu polisi menemukan lokasi penyimpanan sabu itu dan menangkap keduanya.
Sebelum ditangkap, Adel atas perintah Bashir juga sudah menjual 49 kilogram sabu senilai USD 500 per kilogramnya. Namun, Adel belum menerima upah atas penjualannya itu.
Diketahui, atas perkara ini Pengadilan Negeri Serang telah menjatuhkan hukuman mati untuk keduanya. Bashir dan Adel dinyatakan bersalah telah terbukti secara sah bermufakat jahat, menerima, menjual, menjadi perantara dalam jual beli narkotika golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 gram.
Atas vonis mati itu, keduanya mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Banten pun mengabulkan banding keduanya. Dari keterangan persidangan, Sabtu, 26 Juni, Hakim Ketua Sudiyatno mengatakan keduanya bebas dari hukuman mati. Bashir dan Adel akhirnya dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
"Terdakwa I Bashir Ahmed bin Muhammad Umeae dan terdakwa II Adel bin Saeed Yaslam Awadh dikenakan pidana penjara 20 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar, dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar oleh terdakwa maka pidana denda diganti penjara selama 1 tahun," demikian putusan Pengadilan Tinggi Banten.