Pejabat Lebih Dengarkan Stafnya Daripada Masukan Ahli Terkait Kebijakan COVID-19

JAKARTA - Pemerintah dianggap tidak melibatkan para pakar sains dan ilmuwan dalam mengambil kebijakan penanganan COVID-19. Bahkan, seorang pakar mengaku memberikan masukan kepada pemerintah menjadi sebuah tantangan besar bagi.

Demikian disampaikan Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono. Dia mengaku, salah satu orang yang sadar pentingnya sains dalam penanganan virus corona dan merancang pemodelan COVID-19 ini, sebagai langkah antisipasi.

Dia menduga, virus ini sudah masuk ke Indonesia sejak bulan Januari dan menganggap pemerintah saat itu bersikap denial atau menyangkal dugaan tersebut.

"Sejak bulan Januari kami sudah expect (menduga kasus corona ada di Indonesia, red) dan kesal juga, kok laporan (kasusnya, red) negatif terus. Denial (penyangkalan, red) pemerintah saat itu juga luar biasa tingginya," kata Pandu seperti dikutip dari ABC News, Senin 18 Mei.

Sikap otoritas Indonesia yang menganggap enteng virus ini, kemudian membuat dia makin giat meneliti wabah ini dengan harapan bisa membantu pemerintah nantinya.

Pandu bersama rekannya kemudian membuat pemodelan terkait lonjakan pasien jika tidak ada intervensi yang serius. Belakangan, pemodelan ini dipakai oleh BAPPENAS untuk mengestimasi kebutuhan rumah sakit.

Pemodelan ini, juga dia presentasikan kepada beberapa pemerintah daerah. Hanya aja, saran yang diberikan Pandu saat itu tak langsung diterima pemerintah.

"(Memberikan input kepada pemerintah) ini tantangan besar untuk saya, terutama bagaimana menerjemahkan penemuan akademis menjadi sebuah kebijakan," ungkap Pandu.

Dari pengalamannya, Pandu juga menyadari ada kesulitan lain yang dalam struktur pemerintah Indonesia. Termasuk lebih mendengar staf mereka. "Pejabat ini lebih mendengarkan staf ahlinya, bukan akademisi di luar seperti kami," tegasnya.

Dia pun menceritakan, sebelum memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo, harus mencari dan berhadapan dengan staf ahli. Pandu pun berhasil menemui staf tersebut. Hanya saja, ketika bertemu ternyata staf tersebut tak peduli dengan apa yang disampaikannya.

Upaya ini, menunjukkan bukan hanya sulitnya para akademisi memberikan masukan bagi pemangku kebijakan tapi  turut memperlihatkan tak ada upaya sistematis melibatkan akademisi di Indonesia dalam memutus penyebaran COVID-19.

"Harusnya sejak awal itu melibatkan semua perguruan tinggi. Harusnya LIPI berfungsi, Kemenristek dan Dikti juga (harusnya) berfungsi menghimpun masukan dari akademisi," kata dia.

Tak hanya Pandu, seorang akademisi juga mengeluhkan reaksi pemerintah. Para pejabat yang mengundangnya, kata dia, kebanyakan mencari model dan angka yang cocok untuk mereka dan tak peduli dasar ilmu yang ia jelaskan.

"Begitu melihat angka saya, mereka protes, 'angkanya nggak cocok'. Saya jadi bingung, angka ini bukan soal cocok-cocokan. Ini ada hitungan ilmiahnya," ujar peneliti yang tidak ingin disebutkan namanya ini.

Peristiwa yang dialaminya ini membuat ia berkecil hati dan sangsi, apakah pemerintah mau mendengar dan menjadikan sains sebagai rujukan dalam pembuatan kebijakan.

Apalagi, hingga saat ini, epidemiolog dari Eikjman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar mengatakan Indonesia belum punya kurva epidemi yang tepat.

Padahal, kurva ini penting untuk mengukur sukses atau tidaknya intervensi yang dilakukan. Termasuk, melonggarkan sejumlah aturan yang menekan penyebaran COVID-19.

Saat dikonfirmasi soal ini, Juru Bicara Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto kemudian menegaskan jika angka pemodelan yang disampaikan oleh para ilmuwan atau pakar sains bukanlah hal yang begitu penting.

"Bagi kita, yang penting itu bukan memperkirakan kapan dan berapa tapi komitmen bersama untuk menjalankan PSBB," pungkasnya.