Pandemi COVID-19, Demokrat Tolak Pembahasan RUU Minerba Dilanjutkan

JAKARTA - Sebanyak sembilan fraksi di Komisi VII telah memberikan pandangannya terhadap Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) Nomor 4 Tahun 2009. Satu dari sembilan fraksi tersebut menolak melanjutkan pembahasan RUU ini di tengah pandemi virus corona atau COVID-19, yakni Demokrat.

Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrat, Sartono Hutomo menilai, tak etis jika menyetujui draf RUU Nomor 4 Tahun 2009 tersebut di tengah pandemi COVID-19. Menurut dia, seharusnya DPR dan pemerintah membahas tentang penanganan virus ini yang juga masuk dalam tugas Komisi VII.

"Mempertimbangkan kondisi saat ini, di saat negara genting dan masyarakat menderita akibat COVID-19, rasanya kurang tepat apabila DPR RI mebahas hal-hal lain di luar kaitannya dengan penanganan COVID-19," katanya, dalam rapat kerja Komisi VII bersama Kementerian ESDM secara virtual, Senin, 11 Mei.

Sejak awal, kata Sartono, Demokrat memang menyatakan sikap tak menyetujui adanya pembahasan lanjutan RUU ini hingga masa tanggap darurat COVID-19 berakhir.

"PD sejak awal konsisten untuk tidak ikut serta dalam pembahasan karena pandemi ini ini butuh perhatian ekstra. Jadi, kita fokus bantu rakyat karena banyak kurang sana-sini dalam penanganan," tegasnya.

Sartono mengatakan, seharusnya pemerintah lebih fokus menangani pemberian bantuan ke masyarakat seperti di sektor listrik, harga BBM, dan penyaluran LPG di wilayah yang benar-benar terdampak COVID-19. Bukan justru melanjutkan pembahasan RUU ini, apalagi RUU ini menuai kritik publik.

Draf RUU Masih Banyak Kekurangan

Lebih lanjut, Sartono menjelaskan, dalam draf terbaru RUU Minerba yang saat ini disodorkan pun masih banyak kekurangan yang harus diperhatikan DPR dan pemerintah. Poin-poin yang disoroti adalah perubahan nomenklatur yang membuat adanya pergeseran wewenang daerah secara signifikan pada pemerintah pusat.

Lalu, pengaturan izin usaha pertambangan, penguatan rencana pengelolaan minerba, tata kelola pertambangan rakyat, dan mekanisme ekspor-impor. Sartono menilai, draf RUU Minerba juga tidak mempertimbangkan soal dampak lingkungan. Demokrat juga memandang adanya tumpang tindih aturan dalam RUU Minerba dan RUU Cipta Lapangan Kerja yang saat ini juga dikebut di DPR.

Sartono mengatakan, pihaknya ingin pengesahan RUU Minerba jangan terburu-buru. Sebab, di dalam prosesnya perlu mendengarkan lebih banyak suara masyarakat, termasuk polemik hilangnya pasal 165 tentang sanksi bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang untuk mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertamabangan Khusus (IUPK), dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) IUPK, IPR.

Di samping itu, Sartono menilau, tumpang tindih antara RUU Minerba dan RUU Ciptaker, disebebakan karena sarat kepentingan dan mengabaikan aspek lingkungan. Di dalamnya juga sama-sama diatur usaha pertambangan dan investasi tambang di mana jika ada perusahaan melakukan pelanggaran pertambangan, solusinya cukup peraturan presiden.

"Ini seolah-olah kedudukan perpres lebih tinggi dari Undang-Undang. Berdasarkan catatan itu, PD menolak pembahasan dan pengambilan keputusan RUU Minerba untuk diteruskan di tingkat selanjutnya dan menunda hingga masa tanggap darurat berakhir," jelasnya.

Sekadar informasi, selain Demokrat, kedelapan fraksi lainnya yakni Partai Demokrat dan Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasdem, hingga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyetujui RUU Minerba ini dibahas di tingkat atas dengan beberapa catatan.

Di dalam rapat kerja dengan Kementerian ESDM, perwakilan Fraksi PKS, Mulyanto mengatakan, poin tentang pembatasan luas wilayah perizinan pertambangan mineral dan batubara harus diatur secara tegas dalam RUU Minerba.

Tak hanya itu, Mulyanto juga meminta, batasan luas wilayah perpanjangan IUP/IUPK maupun penyesuaian KK dan PKP2B yang habis masa kontraknya, harus menyesuaikan batas wilayah tersebut dan bukan berdasarkan pertimbangan atas perencanaan maupun luas wilayah yang mereka miliki sebelumnya, sebagaimana Pasal 83 dan 169A Draft RUU Minerba yang sudah dibahas.

"Hal ini sangat penting agar tidak terjadi penguasaan wilayah secara berlebihan oleh segelintir pihak yang dapat melanggar prinsip keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.