DPO Terus Bertambah, Pimpinan KPK Bilang Itu Tersangka Warisan

JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, menjawab kritik Indonesia Corruption Watch (ICW) soal banyaknya buronan di masa kepemimpinan dirinya. Menurut Firli, pihaknya sudah melaksanakan evaluasi dari persoalan tersebut.

Hasilnya, kata dia, KPK tidak akan mengumumkan terlebih dahulu para tersangka yang terjerat dalam kasus korupsi sebelum menangkapnya. Sehingga para tersangka ini sudah tak punya waktu lagi untuk melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.

"Larinya para tersangka sehingga menjadi DPO tentu kami kaji dan evaluasi. Kedepan, jika penyidikan sudah diperoleh bukti yang cukup, tersangka akan langsung ditangkap, ditahan, dan baru diumumkan," kata Firli dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip Minggu, 10 Mei.

Perubahan cara ini, kata dia, juga belajar dari pengalaman Pimpinan KPK di periode sebelumnya. Mengingat, para buronan yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) ini ditetapkan sebagai tersangka oleh pimpinan KPK di periode 2015-2019 atau periode Agus Rahardjo, cs atau warisan. 

"Perlu diingat bahwa para tersangka DPO sudah ditetapkan sebagai tersangka sudah lama jauh sebelumnya. Tapi sayangnya, saat ditetapkan sebagai tersangka tidak langsung ditangkap sehingga mereka (masuk) DPO," jelas mantan Kapolda Sumatera Selatan tersebut.

Meski menyatakan ada peran pimpinan di periode sebelumnya, namun, Firli tak mau berlarut-larut dalam kesalahan tersebut. Kata dia, selain melakukan evaluasi dan perubahan cara, KPK akan terus mengejar para buronan ini bersama aparat kepolisian agar jangkauan pencarian semakin luas.

"Kami tidak pernah berhenti melakukan upaya pencarian dan pengejaran terhadap tersangka berstatus DPO," tegas Firli.

Hingga saat ini setidaknya ada lima buronan KPK. Mereka adalah tersangka kasus dugaan suap terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, Harun Masiku, yang kabur saat operasi tangkap tangan (OTT); tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi mencapai Rp46 miliar, mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono.

Kemudian, Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto dan yang paling anyar, Samin Tan, tersangka kasus dugaan suap pengurusan terminasi kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Alasan Dinilai Tak Relevan 

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai, tidak relevan alasan pengumuman status tersangka di awal dengan banyaknya angka buronan yang kabur.

Mengingat, para tersangka biasanya sudah lebih dulu dikirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh KPK sebelum konferensi pers penetapan tersangka digelar.

"Mengaitkan pengumuman penetapan tersangka oleh KPK dengan potensi pelaku kejahatan korupsi melarikan diri sebenarnya tidak relevan," kata Kurnia lewat keterangan tertulisnya.

Menurut dia, sebelum status tersangka disampaikan ke publik, lembaga antirasuah ini tentunya akan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini, kata Kurnia, telah sesuai dengan mandat Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2015 yang lalu saat menguji Pasal 109 ayat (1) KUHAP.

Pengumuman penetapan tersangka yang pada dasarnya merupakan Pasal 5 UU KPK ini berbunyi: Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya KPK berasaskan pada nilai keterbukaan, akuntabilitas, dan kepentingan umum. 

Sehingga, sebagai langkah pertanggungjawaban kepada publik sesuai mandat, langkah paling mudah yang bisa diambil adalah melaksanakan konferensi pers saat penetapan tersangka.

Jika KPK takut para tersangka yang akan diumumkan malah kabur, Pimpinan KPK bisa menggunakan ketentuan Pasal 12 ayat (2) huruf a dalam UU KPK yang berisi soal kewenangan KPK untuk memerintah instansi terkait melarang seseorang berpergian ke luar negeri.

"Jadi kalau dirasa seorang tersangka berpotensi melarikan diri, ya, KPK tinggal gunakan saja ketentuan itu," tegasnya.

Kurnia juga memandang, banyaknya tersangka yang lolos menjadi buronan hingga masuk ke dalam DPO sebenarnya ulah Firli Bahuri cs dan bukan ulah pihak lain. Dia bahkan menilai, narasi penguatan KPK dan kerja senyap di era KPK baru adalah omong kosong.

"Dugaan kami memang dalam sektor penindakan KPK di era Firli Bahuri tidak akan melakukan apa-apa. Makanya disebut senyap," ujarnya.

Dirinya juga menilai, tak perlu menyalahkan sistem di KPK yang sudah ada sejak pimpinan periode yang sebelumnya. Sebab, bisa saja kesalahan ada pada diri pimpinan KPK periode saat ini. "Mungkin memang model dan cara kepemimpinannya saja yang keliru. Bukan sistemnya," ungkapnya.

KPK Harus Tetap Terbuka pada Publik

Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, ikut angkat bicara soal gaya baru KPK yang dianggap bisa meminimalisir tersangka KPK untuk kabur atau menghilangkan barang bukti tersebut. 

Kata dia, gaya dan strategi dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi boleh berubah namun yang terpenting adalah nilai ketika melaksanakan tersebut. Termasuk nilai kejujuran dan transparansi.

"Most likely strategi dan taktis ini juga bisa berubah, yang tidak berubah mestinya nilai-nilai penegakan hukum yang anda harus emban di organisasi anda. Nilai-nilai itu di antara kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Sehingga nantinya tercipta kepastian hukum, transparansi, check and balances," kata Saut ketika dihubungi wartawan.

Jika nilai-nilai yang sudah ada seperti keterbukaan informasi ini kemudian berubah jadi lebih tertutup, maka bukan tak mungkin akan menimbulkan kecurigaan. Sehingga, sebagai mantan pimpinan, dia mengingatkan setiap kerja pemberantasan korupsi harus dilaksanakan dengan penuh keterbukaan. 

"Semakin besar ketertutupan, semakin besar kecurigaan," tegasnya.

"Itu sebabnya, manajemen modern dalam public policy adalah keterbukaan, termasuk keterbukaan Anda melakukan atau tidak melakukan penindakan dan pencegahan korupsi. Di mana publik, pemilik dana yang Anda pakai, berhak memiliki informasi Anda melakukan atau tidak melakukan sesuatu," imbuh Saut.

Lagipula, berdasarkan penggalamannya dulu, KPK harusnya menentukan ukuran performa kerjanya atau key performance indicator (KPI) terebih dahulu di bidang penindakan baru kemudian membahas soal hal-hal taktis yang sudah disepakati.

"Yang utama itu KPI Anda apa dulu, kinerja yang Anda sepakati dari sisi pencegahan dan penindakan itu apa? Itu yang utama. Baru kemudian, style, strategi dan hal-hal taktis atas KPI yang Anda sepakati," tutupnya.