Eksistensi di Balik Bantuan Crazy Rich Surabaya
JAKARTA - Wabah COVID-19 berdampak pada sisi ekonomi masyarakat. Banyak di antara mereka yang dirumahkan atau bahkan kehilangan pekerjaan. Tetapi, banyak juga bermunculan pihak-pihak yang memberikan bantuan.
Hanya saja, pada proses pemberian bantuan tak jarang mereka mendokumentasikan dalam bentuk foto atau video dan diunggah ke akun media sosial pribadi. Sehingga, banyak anggapan jika pemberian bantuan itu hanya untuk menyombongkan diri secara halus.
Seperti halnya pada video viral yang memperlihatkan dua pria sedang menyiapkan sembako yaitu beberapa dus mie instan. Mereka terlihat memasukan uang pecahan Rp100 ribu ke dalam dus itu dan menutupnya kembali.
Selanjutnya, pada video berdurasi sekitar 2 menit 34 detik yang diunggah akun Instagram @tomliwafa, mereka berkeliling sekitaran kota Surabaya dengan mengendari mobil dan membagikan bantuan tersebut kepada orang-orang yang ditemuinya dalam perjalanan.
Sosiolog Universitas Indonesia Bayu A. Yulianto menyebut, dalam video viral itu, permasalahan bukan soal tulus atau tidaknya memberikan bantuan. Melainkan, soal sensasi untuk mencari eksistensi.
Jika membandingkan dengan kegiatan serupa, banyak pihak-pihak yang memberikan bantuan hanya untuk mendapat pengakuan dari orang lain. Sehingga, mendapat tempat di suatu lingkungan.
"Justru bukan di situ perdebatannya menurut saya. Makanya saya lebih melihat unsur sensasi dalam mencari eksistensi," ucap Bayu kepada VOI, Rabu, 6 Mei.
Dengan kata lain, jika ingin menilai tujuan sebenarnya ketika seseorang atau pihak tertentu memberikan bantuan harus dilihat siapa yang melakukannya. Dicontohkan, jika ada seorang politisi memberikan bantuan, kemungkinan besar tujuan utamanya mencari popularitas atau pencitraan.
Tetapi, bukan berarti cara pandangan tersebut bisa digunakan untuk semuanya. Sebab, pada setiap kegiatan atau sosok pasti memiliki tujuan berbeda.
"Jelas gak bisa (disamakan, red), yang lain harus diliat konteksnya terlebih dahulu," tegas Bayu.
Menambahkan, Sosiolog Universitas Gajah Mada, Sunyoto Usman menyebut, jika bantuan memang harus dipublikasikan, maka difokuskan pada penerima bukan pemberi. Sehingga, hal ini dapat mencegah munculnya pandang buruk atas kegiatan sosial tersebut.
"Kalau di-upload ke media sosial mungkin boleh. Tujuannya bukan pamer (narsis, red), tapi lebih untuk membuka kesadaran pentingnya berbagi," tegas Sunyoto.
Memanfaatkan lembaga atau organisasi dalam menyalurkan bantuan sangat dianjurkan bagi mereka yang ingin memberikan bantuan. Sebab, dengan cara tersebut bisa mencegah pandangan negatif dari masyarakat luas.
"Sekarang sebenarnya banyak lembaga yang bisa menyalurkan bantuan (yayasan, media, organisasi keagamaan, dan sebagainya). Kalau khawatir riya, kita bisa menyampaikan bantuan kita kepada lembaga-lembaga tersebut," pungkas Sunyoto.