Hilangnya Panggung Penari Eksotis Jepang Akibat Pandemi
JAKARTA - Menyebarnya COVID-19 memaksa pemerintah dunia mengambil aturan lockdown. Tak terkecuali Jepang. Banyak sektor-sektor yang terdampak akibat seluruh kegiatan yang harus diliburkan. Salah satu sektor yang terpengaruh adalah sektor hiburan.
Seorang penari eksotis bernama Aya Yumiko mengaku kini hanya bergantung hidup dari tabungannya sejak Maret. Ia masih menunggu bar dan klub di Tokyo agar dibuka, di mana ia tampil dalam pertunjukan dan mendapatkan pemasukan.
Melansir Reuters, Selasa 5 Mei, Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe memutuskan agar status darurat akibat COVID-19 pada minggu ini diperpanjang hingga akhir Mei. Hal tersebut menunjukkan bahwa Yumiko masih harus menggunakan cadangan uang terakhirnya hingga akhir Mei sebelum dia dapat kembali bekerja.
"Tabungan saya cukup untuk bertahan selama dua atau tiga bulan," kata penari berusia 40 tahun tersebut.
Selama liburannya yang tak terduga tersebut, ia menggunakan mesin jahit di rumah untuk membuat kostum baru dari bulu palsu dan bahan lainnya. Ia berusaha agar kostum tersebut cocok untuknya hingga musim semi.
Dibesarkan di prefektur Ishikawa di pantai Laut Jepang, Yumiko putus sekolah dan pindah ke Tokyo ketika berusia 16 tahun. Dia bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan dan melakukan perjalanan ke luar negeri sebelum akhirnya menjadi penari eksotis lima tahun yang lalu setelah melihat sebuah pertunjukan dan ia ingin kembali ke panggung.
"Aku ingin tahu apakah aku akan mengenakan ini," katanya ketika dia duduk di apartemennya memegang salah satu kostum barunya.
Lockdown di Jepang
Aturan semi-lockdown di Jepang tidak seketat di banyak negara. Banyak bar, restoran, dan tempat hiburan di Jepang yang hanya sekadar diminta untuk tutup, bukan diperintahkan. Namun atas kesadaran para masyarakat akan menularnya penyakit tersebut, meskipun tidak terlalu dipaksa untuk tutup para pemilik bar dan restoran tetap menutup usaha mereka.
Meskipun terdapat paket stimulus 1,1 triliun dolar AS, ekonomi tetap Jepang melambat. Hal tersebut ditunjukan dengan output pabrik turun dan harga konsumen di Tokyo turun untuk pertama kalinya dalam tiga tahun.
Pekerja wiraswasta seperti Yumiko, yang kurang memiliki akses bantuan keuangan pemerintah dan sudah melihat pendapatan mereka menguap dan menipis akan menjadi kalangan yang paling rentan dalam keterpurukan ekonomi.
Yumiko mengatakan ia menghasilkan sebanyak 3.000 dolar AS per bulan dari dua pertunjukan dalam seminggu. Sebagian besar pendapatan tersebut merupakan hasil dari tips para pengunjung, yang berarti dia tidak memiliki cara untuk menunjukkan berapa banyak yang biasanya dia hasilkan jika dia mengajukan permohonan bantuan pemerintah.
"Orang-orang seperti saya tidak bisa mengandalkan jaminan pemerintah," katanya.
Di bawah paket stimulus yang diberikan PM Abe, kalangan wiraswasta dapat mengklaim sebanyak 1 juta yen atau 9.335 dolar AS jika mereka dapat menunjukkan penghasilan mereka lebih dari setengah jumlah tersebut.
Baca juga:
Jepang melakukan 1,3 uji COVID-19 per 1.000 orang, dibandingkan dengan negara lain yang jumlahnya lebih sedikit dari pengujian di Korsel dan Amerika Serikat, menurut angka yang dikumpulkan oleh Our World in Data.
“Jepang seharusnya bertindak lebih cepat, terkunci dan terkurung dalam periode waktu yang lebih singkat,” kata Kenji Shibuya, direktur Institute of Population Health di King’s College, London.
"Jika situasi ini berlanjut, untuk jangka waktu yang lebih lama, maka tidak hanya perawatan kesehatan tetapi ekonomi akan lebih menderita." tambahnya.
Otoritas kesehatan mengatakan mereka mengikuti pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada pengujian. Mereka juga mengatakan perluasan pengujian dapat membanjiri rumah sakit yang sudah kewalahan dengan kasus-kasus ringan.
Jepang telah memiliki lebih dari 14.000 kasus COVID-19 yang terkonfirmasi dan lebih dari 436 di antaranya meninggal dunia. Kebanyakan kasus tersebut terjadi di Tokyo. Angka tersebut juga jauh lebih rendah daripada jumlah kasus COVID-19 di AS dan Eropa.