Industri Penerbangan Terancam Mati, Tapi Ternyata Harapan Kita Ada di Maskapai Berongkos Murah
JAKARTA - Bukan rahasia bahwa pandemi COVID-19 berdampak serius pada bisnis penerbangan. Tapi seberapa serius? Sejumlah kajian menempatkan bisnis penerbangan murah (low cost carrier/LCC) sebagai lini yang mungkin menyelamatkan industri ini. Bagaimana bisa?
Perusahaan analisis dan data perjalanan, Cirium, pada Januari lalu merilis sebuah laporan, Cirium's Airline Insights Review 2020. Laporan itu menunjukkan penurunan penumpang dalam jumlah signifikan pada 2020. Sebagai gambaran seberapa parah dampak itu: industri penerbangan kembali ke dua dekade lalu.
Anggap saja apa yang dicapai industri penerbangan dalam hal pertumbuhan lalu lintas penumpang selama dua dekade terhapus menjadi nol lagi. "Dibanding tahun lalu (2019), lalu lintas penumpang diperkirakan turun 67 persen pada 2020," tertulis dalam laporan, dikutip VOI dari CNBC International, Selasa, 25 Mei.
"Pandemi dan konsekuensinya menghapus pertumbuhan lalu lintas penumpang global selama 21 tahun dalam hitungan bulan, mengurangi lalu lintas tahun ini ke tingkat yang terakhir terlihat pada 1999," masih kutipan laporan.
Laporan Cirium mencatat angka 2,9 triliun revenue passengers kilometers (RPK) pada tahun 2020. RPK adalah ukuran yang digunakan untuk menghitung lalu lintas penerbangan sebuah maskapai. Angka itu jauh menurun dari RPK 2019 yang mencapai 8,7 triliun.
Penurunan lain yang dicatat Cirium adalah operasional penerbangan maskapai. Dalam kurun waktu 1 Januari hingga 20 Desember 2020, maskapai mengoperasikan 16,8 juta penerbangan. Padahal dalam periode yang sama di tahun 2019, jumlah operasional penerbangan mencapai 33,2 juta.
Lebih dari 40 maskapai penerbangan juga benar-benar menangguhkan atau bahkan menghentikan operasional penerbangan. Para analis memprediksi lebih banyak maskapai yang gagal di tahun 2021.
Geliat di China dan AS
Lebih lanjut, Cirium's Airline Insights Review 2020 mencatat wilayah Asia-Pasifik dan Amerika Utara sebagai yang mungkin paling cepat menyambut pemulihan. Hal itu dapat dilihat dari daftar bandara tersibuk di dunia, di mana Amerika Serikat (AS) dan China mendominasi.
Wakil Presiden Strategi Cirium David White menjelaskan kota-kota besar macam New York, Beijing atau Shanghai tidak ada di daftar. Faktor penerbangan domestik yang mendominasi ketimbang internasional jadi faktor. Menurut data, penerbangan internasional turun hingga 68 persen, di atas persentase penurunan penerbangan domestik yang 40 persen.
Data Cirium memprediksi permintaan penumpang untuk perjalanan udara bakal kembali meningkat di tahun 2024 atau 2025. Lalu lintas domestik dan rekreasi bakal jadi segmen utama dan pertama yang memulihkan diri.
Penerbangan murah jadi harapan industri
Kajian lain, dilakukan GlobalData menunjukkan penerbangan murah mungkin jadi harapan untuk industri ini. Survei dilakukan terhadap 5.766 responden global, dengan kerja lapangan dilakukan pada 2-6 Desember 2020. Ada beberapa kesimpulan utama terkait ini.
Pertama, pemotongan biaya agresif dari operator berbiaya rendah akan memberi mereka keuntungan lebih besar, bahkan jika dibandingkan era sebelum pandemi. Kedua, maskapai berongkos murah dianggap pilihan paling logis di tengah ketidakpastian hari ini.
Riset menunjukkan 87 persen konsumen menunjukkan reaksi kekhawatiran tentang keuangan pribadi mereka. Beberapa dari angka 87 persen itu mengaku sangat khawatir. Lainnya cukup khawatir dan sedikit khawatir.
Studi ini juga menegaskan posisi maskapai berbiaya murah sebagai lini yang akan memimpin pemulihan pasca-COVID-19. Mereka bahkan memiliki daya untuk membantu merevitalisasi permintaan bagi industri secara keseluruhan.
"Langkah-langkah pemotongan biaya yang hemat dan respons operasional akan membuat operator ini bergerak cepat untuk menyerap permintaan yang terpendam dan memanfaatkan peluang apa pun di depan maskapai penerbangan model berbiaya tinggi lainnya," tertulis dalam laporan.
Analis Perjalanan dan Pariwisata GlobalData, Gus Gardner menyebut model bisnis maskapai murah ternyata adalah yang paling efektif. Secara operasional bisnis, termasuk dalam hal pengelolaan uang, mereka memiliki fleksibilitas yang tinggi.
Lebih rinci Gardner menjabarkan ketahanan dan fleksibilitas tingkat tinggi yang ia maksud. Menurutnya, fleksibilitas itu meliputi bagaimana mereka menyusun perencanaan jaringan dan penyebaran pesawat.
"Perjanjian penjualan dan penyewaan kembali yang dibuat oleh easyJet telah memberi perusahaan fleksibilitas armada yang tinggi untuk merespons perubahan permintaan dengan lebih baik di tahun-tahun mendatang. Ini menempatkannya pada posisi yang jauh lebih kuat daripada operator lama yang telah menghentikan pesawat dari armadanya."
“Tarif rendah yang ditawarkan oleh LCC akan lebih memenuhi kebutuhan akan keterjangkauan yang meningkat. Langkah-langkah pemotongan biaya akan memungkinkan LCC untuk mendorong harga ke posisi terendah baru jika perlu dan masih mencapai titik impas, meninggalkan operator lain pada risiko terbang tidak menguntungkan jika mereka memilih untuk bersaing."
"Maskapai penerbangan ini kemungkinan akan mendapatkan pijakan yang lebih kuat di pasar sebagai akibat dari pandemi. Dengan perjalanan rekreasi yang kemungkinan besar akan pulih terlebih dahulu dan jarak LCC yang pendek, jaringan point-to-point akan lebih sesuai bagi wisatawan yang waspada terhadap pandemi yang mencari perjalanan yang lebih dekat ke rumah."
*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Didi Kurniawan, Mery Handayani juga Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Sebab-Sebab Dugaan Penjegalan Ganjar oleh PDIP: Trah Megawati hingga Faktor Jokowi
- Bagaimana Reporter BBC Martin Bashir Menipu Putri Diana Demi Wawancara Kontroversialnya
- Kok Bisa Ada Survei Bilang PDIP Paling Bersih ketika Megawati Sendiri Resah dengan Kader Korup?
- Takuti Warga Tanpa Masker Pakai Pocong dan Waria: Kontribusi Negara Melanggengkan Stigma Transpuan