Beda Nasib Musisi Lokal dan Musikus Dunia Tegakkan Idealisme di Atas Panggung
Kita telah melihat bagaimana YouTube-core memengaruhi proses kurasi dalam penyelenggaraan gelaran musik lewat artikel "Kurasi Gelaran Musik Itu Bernama YouTube-core". Masih bagian dari Seri Tulisan khas VOI, "Mengusik Gelaran Musik". Lewat artikel ini kita akan melihat dari sisi musisi, bagaimana mereka memilih panggung mana yang ingin mereka tempati. Namun, tentu saja, keistimewaan ini hanya berlaku bagi band besar di negeri luar. Bagi band lokal, boro-boro.
Eet Sjahranie kami pilih sebagai teman berbincang. Malam itu, ia mengundang kami ke kediamannya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Eet jelas pilihan tepat. Sejak tahun 90-an, ia telah malang melintang di panggung musik. Jumlah konser atau festival yang ia jajaki pun bukan main banyaknya. Jumlah yang tak lagi ia ingat kala kami tanyai.
Pentolan band rock legendaris Edane itu tampak antusias ketika kami membuka obrolan tentang Lokatara Fest 2019 yang kacau ditinggal enam headliners-nya. Bagaimana tidak, konser dan festival musik adalah hidup Eet. Perkembangannya amat penting bagi dia. Meski Eet tak teramat kaget ketika kami menjabarkan sejumlah konser dan festival lain yang mengalami perkara serupa Lokatara Fest 2019.
Sederhana saja. Sebutlah konser dan festival musik sebagai industri. Maka, industri itu baru saja dibangun di Tanah Air sejatinya. Banyak persoalan pelik yang perlu dipelajari oleh industri ini. Soal penjajahan oleh band-band luar negeri, salah satunya. Bukan pembandingan tak berdasar. Eet sadar, industri musik luar negeri lebih dulu maju. Namun, membangun industri gelaran musik dengan semangat inferior jelas salah.
Dan persoalan ini terjadi di depan matanya. Dari panggung ke panggung ia mentas, Eet kerap melihat bagaimana penyelenggara gelaran musik lokal kerap memaksa musisi dalam negeri berkompromi dengan kebutuhan mereka di atas panggung. "Contoh, kita lah. Edane itu riders-nya Marshall dua, head buat kabinet masing-masing dua," tutur Eet, Kamis, 28 November.
"Nah, sering tuh. Ketika sampai tempat, penyelenggara bilang, 'Mas, Marshallnya cuma ada satu, sisanya ini, itu,' begitu. Dan kita kan enggak bisa juga tuh protes, 'Gue maunya Marshall, titik,' gitu. Enggak bisa kalau kita, karena posisinya sekarang industri membuat kita (band) yang seakan butuh panggung," tambahnya.
Situasi seperti ini yang bagi Eet tak sehat. Apalagi dengan banyaknya penyelenggara musik yang menawar musisi dalam negeri dengan harga luar biasa rendah. Logika pasar semacam ini amat disayangkan. Sebab, kondisi ini menempatkan musisi sebagai pihak yang bergantung pada penyelenggaraan gelaran musik. Padahal, menurutnya begitu banyak festival atau acara musik yang pada awal kiprahnya bergantung pada band-band lokal.
"Padahal dulunya (penyelenggara) merengek minta kita bantu main di event itu ... Lalu, mereka misalnya nego. Harga kita ceban, misalnya ditawar goceng karena mereka merasa kita yang butuh panggung. Sebenarnya nawar itu wajar saja. Tapi kalau dalam kondisi kayak gitu, kalau awal-awal lo minta tolong, lain ceritanya, bos. Dan banyak yang sekarang kayak gitu," tutur Eet.
Perlakuan berbeda kerap Eet temui ketika penyelenggara menghadapi band-band luar negeri. Sekali lagi, ia menegaskan tak mempermasalahkan bagaimana penyelenggara memperlakukan band luar negeri. Namun, yang harus disadari adalah bagaimana penyelenggara seharusnya memperlakukan musisi lokal dengan pantas.
Ya, jika banyak penyelenggara yang menyebut acara mereka ditujukan untuk mendukung kemajuan musik Indonesia, seharusnya pernyataan Eet bukan perkara yang sulit diwujudkan. Jangan sampai terjadi penjajahan dalam industri ini. Penjajahan yang ironinya dilakukan anak bangsa sendiri terhadap anak bangsa lainnya.
"Gue enggak ngerti masalahnya di mana. Cuma, kebanyakan kita itu kan kalau sudah bule yang minta, ngangguk ... Penjajahan, memang. Itu bahasa yang ingin gue sampaikan sebenarnya," ucap Eet.
Idealisme
Kondisi berbeda jelas terjadi pada band-band dunia. Nama besar telah memperkokoh posisi mereka sebagai bagian penting dari industri. "Kondisi ini jarang banget dialami band luar negeri. Mereka, kalau bicara riders atau kebutuhan teknis di atas panggung, kalau ada yang tak terpenuhi, itu mereka bisa banget nolak ... Kita harus menembus ke sana itu mati-matian. Karena suka enggak suka industri masih melihat ke sana," kata Eet.
Jangankan bicara teknis. Band besar dunia bahkan mampu berdiri dengan idealisme mereka dalam industri ini. Coldplay, misalnya. 22 November lalu mereka baru merilis album baru bertajuk "Everyday Life". Tak seperti biasanya, dalam peluncuran album ini Coldplay absen menggelar tur dunia. Alasannya, Chris Martin Cs ingin menumbuhkan kesadaran terhadap lingkungan pada dunia.
Dalam wawancaranya dengan BBC, Chris mengaku tengah mengupayakan bagaimana sebuah tur konser bisa berdampak agar lingkungan di dunia menjadi lebih baik. “Saya senang artis lain mulai ikut serta. Tetapi, benar-benar menerima kesalahan adalah apa yang kita lakukan. Tidak apa-apa, saya setuju dengan itu,” jelas Martin dalam wawancara yang dikutip VOI, Senin, 25 November.
Band jenius asal Inggris, Radiohead lebih dulu berada di jalan pergerakan sosial. Sang pentolan, Thom Yorke memperkuat reputasi ini. Dalam penelusuran pada biografi Radiohead, kita dapat melihat kecenderungan tersebut. Dalam berbagai liputan media hingga situs resminya, Radiohead kerap mempertegas partisipasi politik mereka.
Pada akhir 1990-an, misalnya. Kala itu, Radiohead turut andil dalam Konser Pembebasan Tibet yang diselengarakan di New York (1997), Washington DC (1998), dan Amsterdam (1999) bersama beberapa band rock kenamaan seperti Blur, U2, dan Noel Gallagher dari Oasis. Tujuan utama acara itu adalah mengumpulkan dana bagi gerakan kemerdekaan Tibet.
Liputan media dan kehadiran penggemar band-band ini bertujuan untuk mengumpulkan kesadaran publik tentang nasib rakyat Tibet. Radiohead membantu menyampaikan pesan politik kepada penggemar mereka. Meski begitu, tak semua konser penggalangan dana mereka ikuti. Radiohead sejatinya cukup pilih-pilih juga.
Misalnya pada 2005. Saat itu Radiohead diundang bergabung dalam festival Live 8 untuk kampanye Make Poverty History yang diselenggarakan LSM Oxfam. Kampanye itu bertujuan untuk memberikan bantuan di 40 negara dengan ekonomi lemah. Namun Thom Yorke menolak bergabung.
"Masalah yang dihadapi secara khusus bersifat politis dan struktural. Tidak dapat diperbaiki dengan menyelenggarakan konser rock. Saya merasa itu tidak pantas karena jelas menurut saya situasinya akan dibajak untuk tujuan politik," kata Yorke ditulis Guillaume Clément dalam Activism and Environmentalism in British Rock Music: the Case of Radiohead (2017).
Selain itu, skeptisme Yorke terhadap praktik politik tradisional dan ketakutan akan dimanipulasi atau "dibajak" kepentingan politik praktis juga terlihat ketika ia menolak untuk bertemu dengan Perdana Menteri Tony Blair pada 2005. Padahal pertemuan itu diadakan untuk menggelar acara diskusi terkait isu lingkungan yang berdampak terhadap perubahan iklim bumi.
Selain gerakan politik, baru-baru ini di 2015 Radiohead --diwakili Yorke-- ikut menandatangani petisi perubahan iklim. Petisi tersebut berisikan tuntutan kepada PBB untuk mengubah skema penanganan perubahan iklim. Musisi lain yang turut menandatangani di antaranya ada Coldplay, Yoko Ono, My Morning Jacket, Robert Plant, serta David Gilmour.
Sementara itu di Indonesia, Radiohead belum pernah tampil barang sekali. Banyak orang menyangka salah satu penyebabnya adalah karena di Indonesia masih banyak yang mempekerjakan anak dibawah umur. Meski belum ada pernyataan resmi, namun perkara itu sukar disangkal. Pasalnya, Yorke dikenal fokus menyoroti isu anak-anak. Buktinya ada dalam salah satu repertoar dari album fenomenal mereka "OK Computer and In Rainbows" (2007).
"Mempunyai seorang anak," kata Yorke kepada majalah Spin (2003) "Telah membuat saya peduli tentang masa depan dan tentang bagaimana sesuatu di dunia dikendalikan," kata York. "Aku penasaran masa depan seperti apa yang akan dimiliki anak-anak kita nanti," tambahnya.
Pernyataan itu ada hubungannya dengan kelahiran putranya, Noah pada 2001. Buku Phil Rose, Radiohead and the Global Movement for Change: "Pragmatism Not Idealism" (2016) mengungkap kepedulian Yorke terhadap anak-anak sudah berurat berakar ketika ia menimbang kembali hubungannya dengan para penggemar Radiohead yang semakin banyak.
Ia telah menentukan standar tanggung jawab sebagai orang yang punya pengaruh besar bagi kaum muda. Mungkin hal itu yang menjadi dasar mengapa Radiohead enggan menggelar konser di negara yang masih mempekerjakan anak-anak.
Yang lebih senior dan lebih militan adalah Roger Waters. Pentolan Pink Floyd itu bahkan sempat menegur Radiohead agar membatalkan konser mereka di Israel. Bukan apa-apa, sebagai band yang dikenal keras pada isu kemanusiaan, kemunculan Radiohead akan mengaburkan peran Israel dalam banyak konflik kemanusiaan, terutama terkait pendudukan tanah Palestina.
"Jawaban saya kepada orang-orang yang mengatakan bahwa kita harus pergi ke sana dan duduk di sekitar api unggun dan menyanyikan lagu-lagu adalah tidak. Seharusnya kita tidak melakukan itu ... Siapa pun yang tergoda untuk melakukan itu, seperti teman-teman kami di Radiohead, kalau saja mereka benar-benar mendidik diri mereka sendiri. Saya tahu Thom Yorke mengeluh tentang bagaimana dia merasa dihina, orang-orang mengatakan dia tidak tahu apa yang sedang terjadi," kata Waters di laman Facebooknya.
Namun nasihat Waters tak terindahkan. Radiohead tetap menggelar konsernya di Tel Aviv Israel pada 2017 itu. Yorke mengatakan bahwa konser yang ia helat itu bukan berarti meligitimasi pemerintahan Israel. Ia mengatakan bahwa konser tersebut hanyalah sebuah penutup dari rangkaian tur konsernya pada waktu itu.
Sikap Waters tak lepas dari latar belakangnya yang merupakan salah seorang penggagas BDS (Boycott, Divesment, and Sanction). BDS adalah sebuah aliansi yang terdiri dari berbagai latar belakang profesi. Yang cukup kentara adalah sineas Ken Loach, novelis Alice Walker, termasuk Waters. Kelompok ini aktif berada di balik setiap pembatalan konser yang ada di Israel.
BDS disebut terinspirasi dari kampanye upaya penggulingan rezim aparteid di Afrika Selatan untuk mengakhiri tindakan pendudukan Israel atas sejumlah wilayah Palestina. Bagi BDS, industri musik harus tunduk pada pengawasan yang sama seperti industri lain yang beroperasi di Israel.
Militansi Waters untuk memboikot konser-konser di Israel tak dapat diragukan. Tahun lalu ia juga sempat membatalkan konser musisi Lana Del Rey. Waters mengatakan, dia memohon kepada Del Rey untuk tidak tampil di Festival Meteor. Rogers bertanya padanya apakah dolar AS yang dibayar oleh promotor Israel bisa menggantikan dukungan untuk rakyat Palestina.
Waters rupanya memang punya perhatian khusus pada isu di timur tengah. Selain menjadi katalisator gerakan pemboikotan Israel, Waters juga pernah menyoroti soal grup White Helmet di Suriah. Waters menganggap gerakan itu palsu. "White Helmets adalah organisasi palsu yang hanya ada untuk menciptakan propaganda bagi para jihadis dan teroris," kata Waters, seperti dilansir dari Alaraby.co.uk.
Komentar Waters muncul sehari setelah serangan pimpinan AS menghantam Suriah sebagai pembalasan atas dugaan penggunaan senjata kimia oleh rezim di kota Douma. Waters bisa dibilang cukup konsisten dalam menyuarakan sikapnya. Pada tahun 2016, Roger Waters pernah diundang dalam acara pengumpulan donasi yang dikelola oleh miliarder Saudi, Hani Farsi. Acara pengumpulan donasi itu adalah demi mendukung White WH. Namun Waters tidak menanggapi undangan itu.
Artikel Selanjutnya: Panduan Memahami Segala Masalah dalam Kisruh Gelaran Musik