Rizieq Shihab Minta Divonis Bebas: Dakwaan Jaksa Tak Terbukti

JAKARTA - Terdakwa Rizieq Shihab meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur membebaskannya dari seluruh dakwan jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara dugaan pelanggaran protokol kesehatan di Megamendung, Bogor. Sebab, dia meyakini, tak ada satu pun dakwan yang terbukti.

Dalam nota pembelaan atau pledoi, Rizieq menyebut, penerapan Pasal tentang Kekarantinaan Kesehatan, tidak relevan. Sebab, kerumunan massa terjadi secara spontan.

"Selain itu terdakwa tidak pernah mengundang atau mengajak masyarakat berkerumun di Megamendung, dan terdakwa juga tidak pernah menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan," ujar Rizieq dalam persidangan, Kamis, 20 Mei.

Kemudian, untuk dakwaan kedua tentang wabah penyakit menular juga dianggap tidak bisa diterapkan. Sebab, Rizieq mengklaim tidak pernah dengan sengaja mengabaikan protokol kesehatan.

 

Bahkan, Rizieq juga menyebut tak pernah melawan atau mengabaikan imbauan dari pemerintah. Sehingga, dakwan ketiga pun dianggap tidak bisa diterapkan.

"Terdakwa juga tidak pernah, tidak menuruti perintah atau permintaan petugas yang sedang melaksanakan tugas negara dan tidak pernah pula mencegah, menghalang-halangi, atau mengagalkan tugas pejabat negara," kata dia.

Dengan alasan-alasan itulah, Rizieq menilai semua dakwan dari jaksa tidak memenuhi unsur. Terlebih, diperkuat dengan keterangan saksi dan ahli selama proses persidangan.

"Karenanya, kami memohon karena Allah SWT demi tegaknya keadilan agar majelis hakim yang mulia memutuskan untuk terdakwa dengan vonis bebas murni, dibebaskan dari segala tuntutan, dilepaskan dari penjara tanpa syarat dan dikembalikan nama baik martabat kehormatannya," tandas Rizieq.

Sebagai informasi, Rizieq Shihab dituntut 10 bulan penjara atas perkara dugaan kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) di Megamendung. Rizeq juga didenda Rp50 juta subsider 3 bulan penjara.

Rizieq dinilai telah melanggar Pasal 93 UU nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan atau Pasal 14 ayat (1) UU nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular atau Pasal 216 ayat (1) KUHP.