Bagaimana COVID-19 Tingkatkan Kekerasan terhadap Muslim di India
JAKARTA - Di tengah rerumputan pinggir jalan, terlihat seorang pemuda India sedang memohon ampun untuk hidupnya. Dari video yang beredar luas, terlihat badan pemuda tersebut terguncang. Ada darah di tangan dan kepalanya.
Beberapa orang menyerang pemuda berjanggut lebat itu. Balok kayu dihantamkan ke arah tubuh pemuda yang terlihat mengenakan kemeja merah tersebut.
Beberapa orang yang terlihat sedang mengintimidasi, kemudian mengancam akan menumpahkan bensin dan membakarnya hidup-hidup. Mereka menuduh pemuda itu sengaja menyebarkan virus corona.
Setelah dikonfirmasi News 18 India, menurut pihak yang berwenang, orang itu diketahui bernama Mehboob Ali, seorang pria berusia 22 tahun.
Saat peristiwa terjadi, ia sedang dalam perjalanan pulang ke kampungnya di Bawana, setelah menghadiri acara konferensi Tablighi Jamaat di Bhopal, India. Ia berhasil melarikan diri dari aksi massa dan dirawat di rumah sakit setempat.
Serangan itu adalah bagian dari gelombang kekerasan terhadap muslim India dalam beberapa pekan terakhir. Warga agama minoritas India itu, seperti diberitakan NPR telah lama menghadapi peningkatan diskriminasi, pelecehan dan serangan, terutama di bawah pemerintahan Hindu nasionalis Narendra Modi.
Segala serangan, diskriminasi, dan pelecehan dilakukan terhadap muslim India dengan membabi-buta. Mereka dikabarkan telah menghadapi peningkatan diskriminasi, pelecehan dan serangan. Kekerasan itu, menurut pengamat dipicu karena adanya misinformasi dan pernyataan-pernyataan dari politisi partai yang berkuasa.
COVID-19
Krisis pandemi COVID-19 tampaknya telah membuat keadaan semakin runyam. Kelompok muslim yang berafiliasi dengan Ali, Tablighi Jamaat menuai kritik karena telah mengadakan konferensi pada awal Maret di New Delhi. Konferensi itu kemudian menjadi salah satu titik penyebaran virus terbesar di India.
Kementerian Kesehatan India mengatakan, sekitar 30 persen dari total kasus COVID-19 India berdasarkan penelusuran dari orang yang menghadiri acara konferensi Tabhligi Jamaat. Sementara, puluhan ribu orang yang melakukan kontak dengan mereka telah dikarantina.
Pada 16 April, pemerintah India menuduh salah seorang pemimpin gerakan tersebut, Muhammad Saad Kandhalvi melakukan pembunuhan. Jika terbukti salah, ia akan dipenjara 10 tahun. Sementara Kandhalvi bersembunyi, juru bicaranya Musharraf Ali Khan mengeluarkan pernyataan lewat video yang mendesak para pengikutnya untuk bekerja sama dengan polisi.
"Bekerja sama dengan polisi, yang sedang mencoba melacak kamu. Tidak perlu bersembunyi atau bertingkah buruk," katanya.
Permohonan itu datang setelah banyaknya laporan yang menyebut jemaat mereka berperilaku buruk. Misalnya mereka dilaporkan meludahi dokter di fasilitas karantina di Delhi. Lalu di Uttar Pradeh, mereka diduga membuat ujaran tak pantas dan membuka celana mereka di depan perawat wanita, dan beberapa kabar negatif lainnya.
Namun ternyata setelah ditelusuri kembali, beberapa laporan semacam itu ternyata tidak benar. Tapi, ada daya, kemarahan kadung meledak di publik India.
Yang makin memperkeruh situasi adalah salah seorang pejabat dari Partai Bharatiya Janata --partai PM Modi-- yang menyarankan agar anggota jemaat harus ditembak. Namun pejabat yang lain tentu mengeluarkan peringatan atas itu.
Baca juga:
Salah seorang pejabat yang menjadi "peredam" situasi adalah Menteri Pemimpin Karnataka. "Tidak ada seorang pun yang perlu berbicara melawan muslim," katanya lewat saluran TV lokal yang dikutip Indian Express. "Jika ada yang menyalahkan seluruh komunitas muslim untuk beberapa insiden terpisah, saya akan mengambil tindakan terhadap mereka."
Kemudian, pada hari Minggu, setelah Organisasi Kerjasama Islam menyatakan keprihatinan mendalam atas apa yang disebutnya "Islamofobia dalam lingkaran politik dan media" di India, Modi mengunggah kicauan imbauan persatuan dan persaudaraan.
"COVID-19 tidak melihat ras, agama, warna kulit, kasta, kepercayaan, bahasa atau perbatasan. Dalam hal ini kita bersama-sama," tulis Modi.