Menertawakan Larangan Mudik: Respons Konyol Masyarakat untuk Kebijakan Absurd Pemerintah

JAKARTA - Pemerintah pusat resmi menetapkan larangan mudik selama 6 hingga 17 Mei. Larangan ini berimplikasi pada banyak hal, dari persoalan ekonomi yang serius, persoalan nostalgis yang emosional, sampai yang sifatnya macam lelucon: kebijakan pemerintah dan bagaimana masyarakat merespons dengan jenaka.

Ingin rasanya menanggapi persoalan ini dengan serius. Tapi, melihat bagaimana kebijakan ini diambil, bagaimana kami bisa? Lihat saja bagaimana masyarakat merespons kebijakan ini. Sebelum tertawa dilarang, kita lihat dahulu bagaimana kebijakan larangan mudik ini diambil.

Jadi, larangan mudik Lebaran 2021 ini berlaku sejak Kamis, 6 Mei dan dilegitimasi Surat Edaran Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 13 Tahun 2021. Surat itu mengatur setiap anggota masyarakat dilarang melakukan perjalanan antarkota/kabupaten/provinsi/negara untuk tujuan mudik demi menekan penyebaran COVID-19.

Selain larangan yang diberlakukan pada 6-17 Mei, pemerintah juga memberlakukan aturan tambahan, yakni pengetatan perjalanan. Pengetatan berlaku 22 April-5 Mei dan 18 Mei-24 Mei. Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19, Wiki Adisasmito menjelaskan pelarangan mudik diambil berdasar pendapat ahli dan pengalaman lapangan.

Kebijakan paradoks, kesulitan di lapangan

Penyekatan arus mudik (Sumber: Antara)

Ada beberapa sorotan dari larangan mudik ini. Pertama, tetap dibukanya aktivitas wisata. Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan tidak dilarangnya kegiatan wisata ditujukan untuk menggerakkan roda perekonomian negara.

"Harus dipastikan bahwa tujuan utama kita adalah untuk menekan penyebaran dan penularan COVID-19, bukan untuk membuat aktivitas ekonomi terutama sektor pariwisata juga ikut berimbas secara drastis," kata Muhadjir.

Ada ketentuan-ketentuan bagi mereka yang hendak wisata di masa larangan mudik Lebaran. Pertama, masyarakat hanya bisa berwisata ke wilayah yang sesuai domisili atau satu kawasan aglomerasi. Wiku memastikan perjalanan lintas batas daerah tak diizinkan. Selain itu, masyarakat yang ingin wisata juga wajib dites COVID-19 dan vaksin.

Secara teori, apa yang disampaikan Muhadjir sebenarnya masuk akal saja. Apalagi atas nama kepentingan ekonomi. Tapi bagaimana dengan implementasi lapangan?

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut sikap otoritas dalam pengambilan keputusan ini paradoks. Dampaknya, petugas di lapangan akan kesulitan mengimplementasikan kebijakan ini. "Ini ya, yang paling kasihan petugas di lapangan. Bayangkan, repot tidak?" Trubus, saat dihubungi VOI, Senin, 10 Mei.

Penyekatan arus mudik (Sumber: Antara)

"Lagipula masyarakat kan membaca. Mereka nanti tahu di waktu-waktu kapan bisa melewati penyekatan-penyekatan. Ketika waktu berbuka (puasa) atau di waktu-waktu lengah lain. Petugas di lapangan juga semangatnya hanya menjalankan perintah saja. Tidak sampai itu pemahaman (ke petugas) larangan ini untuk menekan penyebaran COVID-19."

Izin kegiatan wisata selama larangan mudik juga membuat beberapa daerah membuat aturan sendiri. Warga yang hendak ke Kabupaten Bogor wajib menunjukkan bukti tes usap antigen dan sertifikasi vaksin COVID-19. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), wisata selama masa larangan mudik hanya diizinkan bagi warga yang berada di wilayah DIY.

Di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pemerintah setempat bahkan tidak menerapkan larangan wisata sama sekali. Pengunjung dari luar wilayah Kabupaten Karanganyar juga diperbolehkan berwisata ke lokasi-lokasi seperti Tawangmangu dan Kemuning. Hal itu disampaikan Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Karanganyar Titis Sri Jawoto.

"Kebijakan khusus dalam rangka lebaran tidak ada. Di sektor pariwisata Karanganyar sudah berjalan dengan berbagai inovasi yang terbukti efektif dan tidak terdapat klaster pariwisata sejauh ini," kata Titis, ditulis Kompas.

Respons konyol masyarakat

Seiring berjalannya masa larangan mudik Lebaran 2021, selama itu juga kekonyolan-kekonyolan kita lihat. Di media sosial, pemberitaan media mainstream, konten video, foto, hingga meme yang menceritakan aksi konyol masyarakat menghadapi larangan mudik ini berseliweran.

Di Asahan, Sumatra Utara, sebuah bus berisi pemudik menyamarkan keberadaan mereka dengan menempel kertas bertulis "Bus Khusus Paket". Saat dihadang petugas di Pospam Satu Meranti, petugas mendapati penumpang di dalam bus itu. Bus itu pun terpaksa diminta berputar balik.

Lainnya, cerita tentang pemudik yang menumpang mobil ambulans. Kejadian itu terjadi di Cikarang, Jawa Barat pada Jumat, 7 Mei. Ada tujuh pemudik yang berupaya mengelabui aparat namun digagalkan. Sehari sebelumnya, di Cikarang juga, tepatnya di Tol Cikarang menuju Cikampek, aparat mencegat truk sayur berisi pemudik.

Selain truk sayur, ada juga pemudik yang coba menerobos pencegatan aparat dengan bersembunyi di truk pengangkut sepeda motor. Aksi mereka ketahuan ketika melintasi Gerbang Tol Cikupa, Tangerang. Tak cuma yang terang-terangan coba menerobos. Beberapa konten viral juga menunjukkan respons lain masyarakat terkait larangan mudik.

Misalnya, tentang seorang pengendara motor yang menempelkan bagian belakang tubuhnya dengan kertas bertuliskan, "Mao main bola bukan mudik. Sumpah dah." Atau sebuah truk yang menulis pernyataan senada: Jangan Curiga ke Mana Ku Pergi.

Foto viral truk dengan pesan soal mudik (Instagram/@infotangerang.id)

Belum jelas apa latar belakang pengemudi motor dan truk itu. Tak diketahui juga apakah mereka termasuk pemudik atau bukan. Yang jelas, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah melihat respons konyol masyarakat ini sebagai reaksi dari kebijakan yang juga konyol.

"Ini memang sumber masalahnya dari kebijakan publiknya. Jadi kebijakan terhadap larangan mudik ini menurut saya tidak jelas. Sudah kontraproduktif. Ambigu. Sudah begitu juga paradoks. Mencla-mencle juga," Trubus.

Selain akibat kebijakan yang membingungkan, respons masyarakat ini juga terjadi karena berbagai isu lain yang terjadi di masa pelarangan mudik ini. Soal masuknya ratusan warga negara China ke Indonesia, misalnya. Isu ini menimbulkan rasa tidak adil.

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Bagaimana mungkin niat baik memutus penyebaran COVID-19 lewat larangan mudik diterima akal sehat ketika di saat yang sama Indonesia kedatangan warga negara asing. "Warga Tiongkok itu diperbolehkan. Wisata juga. Masyarakat tuh membaca. Ada juga yang pakai stiker boleh. Pejabat boleh."

Segala persoalan ini jadi indikasi jelas kebijakan pelarangan mudik tak efektif. Ada yang pemerintah lupa, bahwa fokus penanganan COVID-19 adalah mencegah penularan, bukan mobilitas. Dengan perspektif pencegahan penularan, maka langkah turunannya akan lebih holistik dan sinergis.

Berbeda dengan ketika landasan perspektifnya pembatasan mobilitas, masalah-masalah lain akan muncul. Misalnya, penumpukan manusia yang terjadi di kota-kota besar akibat pelarangan mudik. Kebijakan yang tak holistik tak akan menciptakan sinergitas antara pemerintah pusat, daerah dan berbagai otoritas di bawahnya.

Padahal, perlawanan COVID-19 adalah perang bersama. "Isu ini mengindikasikan kebijakan ini tidak efektif dalam hal mencegah penularan COVID-19. Salah fokus. Seharusnya bukan memutus mobilitas. Seharusnya kita fokus sama tujuan memutus rantai penyebaran. Jadi nanti enggak ada juga kerumunan."

*Baca Informasi lain soal MUDIK atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya