Benarkah Omnibus Law Merupakan Jawaban untuk Masalah Ekonomi Usai COVID-19?
JAKARTA - Di tengah pandemi COVID-19 dan maraknya penolakan publik terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja, DPR RI tetap tancap gas untuk membahas rancangan perundangan yang dianggap menjadi salah satu jawaban untuk permasalahan ekonomi saat ini.
Meski begitu, publik tak sepakat jika Omnibus Law Cipta Kerja lantas dianggap sebagai jawaban dari masalah ekonomi. Bahkan, banyak pihak yang meminta agar pembahasan dihentikan.
Salah satunya adalah Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal. Dia menyebut Omnibus Law Cipta Kerja ini, bukanlah jawaban dari permasalahan ekonomi yang ditinggalkan nantinya pascapenyebaran COVID-19 seperti klaim para elite politik kebanyakan.
"Jawaban saya tidak (akan memperbaiki ekonomi). Dalam kondisi seperti sekarang, untuk menggenjot investasi justru pemerintah harus benar-benar fokus pada penanggulangan wabah," kata Faisal kepada wartawan melalui pesan singkat, Senin, 20 Maret.
Baca juga:
Omnibus Law, kata dia, bukanlah jawaban untuk menarik investor. Lagipula, masih banyak kelemahan di dalam rancangan perundangan ini sehingga para penggagas aturan ini harus melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.
Adapun kelemahan yang dimaksud Faisal, diantaranya adalah banyaknya aturan yang bertentangan dengan Undang Undang Otonomi Daerah yang sudah ada. Selain itu, pelibatan publik dalam pembuatan rancangan undang-undang juga dipertanyakan.
"Banyak elemen yang semestinya terlibat tapi tidak dilibatkan dalam pembuatannya. Termasuk elemen dalam pemerintah sendiri," tegasnya.
Selain Faisal, Manajer Kampanye Pangan-Air-Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana, juga menegaskan sebenarnya ada dua hal yang membuat proses pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi cacat.
Pertama, RUU ini banyak menerobos prinsip perundang-undangan, mengabaikan pemenuhan hak asasi manusia, serta mengancam lingkungan hidup. Bahkan, Wahyu tak segan mengatakan, rancangan undang-undang ini adalah karpet merah bagi para pengusaha korporasi.
"RUU ini lebih tepat disebut karpet merah bagi korporasi, tidak ada kesesuaiannya dengan judul yang digunakan cipta kerja,"
Kedua, RUU ini sejak awal sudah cacat secara prosedural. Selain itu, RUU ini juga pembahasannya selalu dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi pihak lain. Selain itu, baginya aturan ini aturan ini dibuat untuk pengusaha dengan ditunjuknya Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani, sebagai Ketua Satgas Omnibus Law.
Cacat prosedur lain yang dicatat oleh Wahyu, adalah mengenai pembentukan Panitia Kerja (Panja) RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang menyimpang dari prosedur pembentukan undang-undang yang diatur dalam Tata Tertib DPR dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Keputusan Baleg DPR yang langsung membentuk Panitia Kerja (Panja) jelas melanggar prosedur formal legislasi," kata dia.
Apalagi, keputusan ini muncul dari Rapat Kerja (Raker) DPR RI pertama kalinya untuk membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Padahal, raker pertama harusnya mengagendakan kesepakatan untuk penjadwalan penyusunan dan penyerahan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Cipta Kerja.
"Namun, dalam Raker tersebut, pimpinan rapat kerja langsung membentuk panja," ujarnya.
Sehingga, berkaca dari proses tersebut, Wahyu mengatakan harusnya pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja tak perlu dilakukan atau dibatalkan saja. "Jangankan ditunda, dilanjutkan saja pembahasannya tidak pantas."
Meski banyak pihak menganggap RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini bermasalah, tak transparan, dan bukan jawaban dari permasalahan ekonomi pasca penyebaran COVID-19 namun DPR RI tetap berjalan.
Hal ini terbukti dengan setelah pembentuk Panja RUU Omnibus Law, DPR akan melanjutkan agenda pembahasan rancangan undang-undang tersebut dengan agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
Wakil Ketua Panja RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Willy Aditya mengatakan ada sekitar enam narasumber atau lebih yang akan dihadirkan untuk didengarkan pendapatnya pada Rabu, 22 April mendatang.
"Semuanya expert. Ada yang dari pemerintah, ada yang pro, yang kontra, dan yang netral," kata Willy kepada wartawan.
Adapun agenda dalam rapat ini pembahasan Bab 1 dan Bab 2 tentang ketentuan umum, maksud dan tujuan serta mendengar pandangan dari pakar dan narsum.
Kemudian, dilanjutkan pembahasan Bab 3 hingga Bab 11 yang mencakup masing-masing kluster dalam RUU tersebut. Setelah beres pembahasan, masing-masing fraksi akan menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM).
Diberitakan sebelumnya, meski tanpa Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Baleg DPR RI telah membentuk Panja RUU Omnibus Law yang beranggotakan 37 orang dari delapan Fraksi. PKS mengaku memilih tak mengirimkan orang untuk masuk ke panitia tersebut karena merasa tak ada urgensinya, membahas rancangan undang-undang tersebut di tengah pandemi COVID-19.