Tiada Mesin Waktu yang Lebih Sempurna Merefleksi Dunia Kecuali World Press Photo Contest
JAKARTA - Seorang pria muda meletakkan tangan kirinya di dada. Mulutnya terbuka lebar. Di sekeliling dia, tampak sejumlah orang yang meneranginya dengan cahaya dari telepon genggam. Foto yang ditangkap fotografer AFP, Yasuyoshi Chiba itu memang segalanya. Foto yang sangat layak diganjar penghargaan paling bergengsi dalam karya foto jurnalistik tahun ini, World Press Photo of the Year 2020.
Dalam dimensi nyata, lantunan puisi keluar dari mulut sang pria. Di tengah temaram, tangan-tangan pembawa cahaya mengiringi puisi itu dengan teriakan protes kepada pemerintah. Sudan memang memanas sejak 2018. Protes demi protes dilancarkan. Hari itu, 19 Juni 2019, demonstrasi berlangsung di tengah pemadaman listrik di Khartoum, Ibu Kota Sudan.
Gelombang protes di Sudan dimulai pada Desember 2018. Sejak itu, demonstrasi meluas cepat ke seluruh penjuru negeri. April 2019, para demonstran melakukan aksi protes di dekat markas tentara di Khartoum. Aksi duduk massal itu dilakukan untuk menuntut turunnya Presiden Omar al-Bashir yang telah memimpin selama 30 tahun.
Pada 11 April 2019, al Bashir dicopot dari jabatannya lewat kudeta militer. Pemerintahan transisi yang dipegang militer pun didirikan. Namun, protes berlanjut. Rakyat menghendaki kekuasaan diserahkan pada kelompok-kelompok sipil.
Suasana makin kacau. Pada 3 Juni 2019, pasukan pemerintah menembaki para demonstran yang tak bersenjata. Puluhan orang terbunuh hari itu. Sebuah hari yang menandai muramnya penegakan hak asasi manusia (HAM) di Sudan. Sebab, sejak hari itu, berbagai aksi kekerasan aparat berlanjut terhadap kelompok-kelompok masyarakat.
Tiga hari setelah penembakan brutal, Uni Afrika menangguhkan Sudan di tengah kecaman internasional yang gencar pada serangan itu. Sejak itu, otoritas melakukan berbagai cara untuk meredakan protes, termasuk memadamkan listrik dan mematikan internet.
Masyarakat tetap bergerak. Para demonstran berkomunikasi lewat pesan teks sejak itu. Rantai komunikasi dari mulut ke mulut pun dijalin. Sial bagi otoritas, karena perlawanan tak surut. Akhirnya, pada 17 Agustus 2019 gerakan pro-demokrasi berhasil memenangi sebuah jalan keluar berupa perjanjian pembagian kekuasaan antara militer dan kelompok sipil.
Yasuyoshi Chiba
Yasuyoshi Chiba bukan nama asing di kalangan pecinta foto jurnalistik. Penghargaan pertama untuk kontes foto World Press Photo adalah di tahun 2009.
Kala itu, bentrokan antara Prajurit Maasai dan Suku Kalenjin yang ditangkap Yasuyoshi memenangi penghargaan untuk Kategori People in the News. Selanjutnya, pada 2012, foto cerita Yasuyoshi tentang tsunami di Pantai Tohoku, Timur Laut Jepang juga memenangi penghargaan untuk Kategori People in the News.
Yasuyoshi adalah Kepala Fotografer AFP untuk Afrika Timur dan Samudra Hindia yang berbasis di Nairobi, Kenya. Yasuyoshi belajar fotografi di Universitas Seni Mushashino di Tokyo.
Ia memulai karier sebagai fotografer di Asahi Shimbun, sebuah surat kabar Jepang yang berbasis di Osaka. Selepas itu, ia menjadi fotografer lepas dan pindah ke Kenya pada 2007, sebelum bergabung dengan AFP di Brasil pada 2011.
Karya lain
Cara apa yang lebih baik untuk merefleksikan kembali kejadian-kejadian yang telah dilalui dunia selain lewat refleksi cahaya dan cermin tunggal? Dan World Press Photo Contest, sejak lama adalah galeri paling paripurna untuk melihat dunia.
Selain demonstrasi Sudan karya Yasuyoshi, World Press Photo 2020 juga mengangkat peristiwa-peristiwa besar di dunia lain. Di Kategori World Press Photo 2020, karya Yasuyoshi bersanding dengan karya Farouk Batiche dan Ivor Prickett yang sama-sama membingkai peristiwa protes besar di Aljazair, Afrika Utara.
Selain itu, ada juga foto kerabat korban Ethiopian Airlines ET302 yang mengalami kecelakaan pada 10 Maret 2019. Kecelakaan itu menewaskan 157 orang. Kerasnya hantaman pesawat bahkan membenamkan dua mesin pesawat Boeing 737 MAX itu ke dalam kawah hingga 10 meter.
Dalam kategori lain, fotografer Prancis Romain Laurendeau memenangi World Press Photo Story of the Year dengan citra yang terjadi di Algeria sepanjang 2018 hingga 2019. Algeria memang tengah dirundung begitu banyak masalah. Laurendeau membingkai salah satunya, yakni soal kehidupan anak-anak muda Aljazair yang penuh keresahan.
Di Aljazair, kaum muda mendominasi lebih dari setengah populasi di Aljazair. Menurut laporan UNESCO, 72 persen kaum muda atau mereka yang berusia di bawah 30 tahun menganggur. Kenyataan ini mengangkat kembali sejarah negeri yang kelam, yakni tentang pemberontakan 'Black October' tahun 1988.
Dalam Black October, lebih dari lima ratus orang tewas dalam kurun lima hari. Lima hari itu yang kemudian melenggang hingga menciptakan dekade suram di seluruh negeri. Berbagai kekerasan dan kerusuhan mewarnai Aljazair sepanjang waktu itu.
Baca juga:
Tiga puluh tahun kemudian, negeri yang trauma dan frustasi ini kembali bergejolak. Pengangguran yang tinggi menciptakan keresahan luar biasa. Hubungan antara negara dan para pemudanya seperti terputus. Institusi-institusi negara tak terbarukan. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi tak mampu menyerap mereka.
Sepak bola, bagi banyak pria muda, jadi identitas sekaligus sarana untuk melarikan diri. Bagian lainnya menyatu dalam kegiatan protes. Kelompok-kelompok penggemar politik semu yang dikenal sebagai 'Ultras' berperan besar dalam protes.
Kelompok lainnnya, para kelas pekerja yang terabaikan. Kelompok-kelompok muda itu beberapa tahun belakangan menyatu menjadi satu gerakan yang merongrong pemerintahan Presiden Abdelaziz Bouteflika yang dianggap gagal memenuhi berbagai tantangan nasional.
Galeri refleksi dunia yang dibingkai fotografer-fotografer dunia dalam bertahun belakangan dapat kamu lihat di sini.