Kebesaran Masjid Jogokariyan
JAKARTA - Masjid Jogokariyan adalah masjid bersejarah. Selain jadi tempat beribadah, Masjid Jogokariyan juga salah satu pusat peradaban umat Islam di tanah Yogyakarta. Masjid yang dibangun 1966 bahkan dianggap penanda meluasnya islam Kota Gudeg.
Namun, jauh sebelum itu, kampung tempat masjid dibangun, justru dihuni kalangan abangan. Mereka melanggengkan tradisi kejawen daripada kultur Islam. Lebih lagi, kampung ini sempat jadi basis dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Awal mula berdirinya Kampung Jogokariyan tak lepas dari peran Sri Sultan Hamengkubuwono IV (1814-1822). Penguasa Yogyakarta itu merasa populasi abdi dalem dan prajurit keraton dari kesatuan “Jogokaryo” yang berada di area dalam benteng Istana Ngayogyakarta Hadinigrat terlalu banyak.
Keinginan itu semakin bertambah, sebab Keraton mulai mereformasi peran prajurit yang semula prajurit perang, menjadi prajurit upacara. Dari yang tadinya berjumlah 750 orang, dipangkas menjadi 75 orang.
Alhasil, segenap abdi dalem dan prajurit yang berasal dari kalangan abangan mulai bebas tugas. Oleh kuasa Hamekubuwono IV, mereka yang tak lagi berada di dalam kompleks istana, dibukakan kampung baru di sebelah utara Panggung Krapyak. Kampung itu kemudian langgeng dikenal --seperti nama satuan prajurit Jogokariyo-- Kampung Jogokariyan.
“Letak kampung Jogokariyan menurut toponimi Perkampungan Tanah Jawa di Kota Yogyakarta telah berasal dari Bahasa Sansekerta yakni ‘Jogo’ berarti menjaga sedangkan ‘Karyan’ berarti tugas atau pekerjaan. Area perkampungan ini terletak di Njobo Beteng atau di luar komplek Kerajaan yang dibatasi benteng,” ungkap Ahmad M. Arrozi dalam jurnal Analisa Sosiologi berjudul Perubahan Sosial Komunitas Masjid Kampung Jogokariyan Yogyakarta Tinjauan Sosiologi-Sejarah (2016).
“Panji-panji bendera Jogokaryo berbentuk papasan dengan empat persegi panjang berwarna dasar merah dan ditengahnya ada lingkaran berwarna hijau. Makna filosofis dari papasan tersebut sebagai pasukan pemberani yang mampu menghancurkan musuh dengan keteguhan,” tambahnya.
Dari kaum abangan hingga simpatisan komunis
Meski sudah dibuatkan kampung, kehidupan para mantan Abdi Dalam dan prajurit Jogokaryo tak serta-merta dilingkupi kemapanan. Setelah meninggalkan Istana Ngayogyakarta mereka tak lagi menerima gaji.
Sebagai bentuk tanda baktinya kepada kerajaan, mereka hanya diberi tanah lungguh atau yang menurut istilah orang Belanda “tanah gaji.” Tanah lunggung dibagikan oleh Raja Yogyakarta kepada para prajurit dan Abdi Dalam dalam durasi waktu tertentu.
Tanah lungguh tak ditentukan berdasar luasan hektare atau acre, tapi ditentukan dengan jumlah penduduknya (cacah). Sejarawan Ong Hok Ham menjelaskan satu cacah sama dengan kesatuan petani yang terdiri dari empat orang laki-laki.
Alhasil, kedudukan finansial maupun tingkat politis pejabat tinggi dinilai dari jumlah cacah yang ia dapat dari raja. Pejabat tinggi dapat menggunakan tenaga cacah untuk berbagai keperluan, dari yang bersifat pribadi hingga kepentingan kerajaan.
“Begitulah misalnya seorang pejabat kerajaan atau pangeran menerima tanah seluas 800 cacah (keluarga petani). Yang berarti bahwa ia menerima tanah yang cukup luas untuk digarap oleh 800 keluarga petani atau cukup luas sehingga 800 keluarga petani dapat menggarapnya. Singkatnya, kekayaan dan kemakmuran para anggota kaum elite Jawa diukur menurut jumlah penduduk dan tidak menurut luas tanahnya. Bukan penguasaan wilayah, tetapi penguasaan penduduklah yang dianggap penting oleh kaum elite,” ungkap Ong Hok Ham dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah (1984).
Akan tetapi, para Abdi Dalem dan prajurit itu bukan pejabat kelas elite. Mereka tak mendapatkan tanah lungguh yang tenaga cacahnya cukup besar. Bebarapa dapat menyesuaikan diri.
Tak sedikit pula mereka yang tak dapat menyesuaikan diri. Alias terjebat dalam kubangan kemiskinan. Imbasnya, mereka memilih menjual tanah lungguhnya. Juga, tanah pekarangannya kepada pengusaha Batik dan Tenun kawasan lain Yogyakarta. Senapas dengan itu, perubahan sosial-ekonomi di Kampung Jogokariyan mulai berubah.
Imej awal kampung Jogokariyan yang didominasi kalangan Abdi Dalam dan prajurit, mulai berubah menjadi kampung batik dan tenun. dikutip dari Adi Nur Ahmad dalam penelitiannya Masjid Membangun Umat: Sejarah Masjid Jogokariyan di Yogyakarta 1980-2013 (2017), menyebutkan tak sedikit generasi keturunan para Abdi Dalem terpaksa bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik batik dan tenun.
Dinamika itu memperlihat para pendatang lebih makmur daripada penduduk asli, yakni generasi Abdi Dalem. Kesenjangan itu lalu dimanfaatkan oleh PKI untuk menggaungkan sentiment kelas buruh melawan majikan.
Kehadiran PKI kemudian disambut baik. Berkat itu, Kampung Jogokariyan menjadi salah satu basis massa PKI di Yogyakarta. Akan tetapi kejayaan itu harus berakhir. Terjadinya peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965 (G30S) jadi awalan karakter masyarakat Kampung Jogokariyan berubah kembali.
Setelahnya, Kampung Jogokariyan yang awalnya didominasi kaum abangan, mulai berganti dengan dominasi kaum santri. Pendirian masjid Jogokariyan jadi tonggak utamanya.
Kampung santri dan Masjid Jogokariyan
Dalam sejarahnya, para pengrajin batik dan tenun yang tinggal di Kampung Jogokariyan membeli tanah wakaf seluar 600 meter persegi. Mayoritas pengusaha batik dan tanuh di kampung itu adalah simpatisan Masyumi dan anggota Muhammadiyah.
Untuk melanggengkan serta mengembangkan Islam, tanah itu kemudian disiapkan untuk pendirian masjid. Tercatat, tanggal 20 September 1966 dipilih sebagai hari peletakan batu pertama Masjid Jogokariyan.
“Masjid ini berdiri sejak Agustus 1967 setelah diresmikan oleh ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta. Berdiri di tanah seluas 600 meter persegi yang dibeli oleh masyarakat atas bantuan penguşaha batik yang tergabung dalam Koperasi Batik Karang Tunggal dan Koperasi Tenun Tri Jaya," tulis Muhammad Syafril dalam buku Berjamaah Lebih Utama (2019).
Selapas pembangunan, Masjid Jogokariyan menjelma menjadi alat perekat umat Islam. Terutama, untuk melakukan perubahan sosial dalam lingkup masyarakat setempat. Sekalipun semenjak awal Kampung Jogokiriyan dikenal sebagai kampung basis komunis. Seiring perjalanan waktu imej itu berubah. Setidaknya hingga hari ini orang-orang mengenal Kampung Jogokirian sebagai kampung santri.
“Saat ini Masjid Jogokariyan telah menjelma menjadi pilar penting dalam membangun masyarakat madani dengan pendekatan aktivitas sosio-keagamaannya. Keberhasilan ini terus berkembang membuat Masjid Jogokariyan menjadi tujuan masjid lainnya di Indonesia untuk datang dan belajan bagaimana membuat masjid menjadi situs penting dalam pemberdayaan masyarakat sékitar,” tutup Suhairi Umar dalam buku Pendidikan Masyarakat Berbasis Masjid (2019).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.