Polemik Kamus Sejarah Indonesia: Tak Masukkan Pendiri NU Berujung Permintaan Maaf Kemendikbud

JAKARTA - Kamus Sejarah Indonesia Jilid I jadi polemik karena tak memuat nama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Haji Hasyim Asy'ari tapi justru memuat nama tokoh berpaham komunis seperti DN Aidit dan Darsono Notosudirjo. Belakangan setelah diprotes oleh banyak pihak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meminta maaf atas keteledorannya.

Permintaan maaf ini disampaikan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid melalui konferensi pers secara daring. Dia mengakui adanya keteledoran terkait hilangnya profil Kiai Haji Hasyim Asy'ari dari kamus tersebut.

Kemendikbud mengklaim, kamus yang beredar luas di tengah masyarakat dalam bentuk salinan digital itu sebenarnya masih dikerjakan dan belum disunting lebih lanjut.

"Kesimpulannya, ya, ini memang betul-betul kealpaan, keteledoran. Naskah yang sebetulnya tidak siap (diterbitkan, red) itu kemudian dimuat dalam website," kata Hilmar dalam konferensi pers yang ditayangkan secara daring, Selasa, 20 April.

Dia memaparkan, Kamus Sejarah Indonesia Jilid I ini dikerjakan pada 2017 lalu. Namun, hingga tahun anggaran berakhir belum selesai dikerjakan.

Selanjutnya, karena harus membuat laporan, kamus tersebut kemudian dilayout dan dibuat versi cetak dan digital. Untuk versi cetak, Hilmar mengaku hanya ada beberapa puluh eksemplar saja untuk keperluan penyuntingan.

Berikutnya, pada 2019, Direktur Sejarah yang dijabat oleh Triana Wulandari diminta untuk menyediakan materi untuk diungah di situs Rumah Belajar. Saat itulah, Kamus Sejarah Indonesia ikut terunggah.

"Saya sudah mengecek sampai staf yang mengerjakan di lapangan, saya benar-benar urutkan kronologisnya dan kesimpulannya ya ini memang betul-betul  keteledoran," ujarnya.

Atas keteledoran itu, Hilmar pun meminta maaf. Saat ini, dia memastikan Kamus Sejarah Indonesia secara digital sudah diturunkan dari situs Rumah Sejarah sementara versi cetaknya sudah ditarik.

Hilmar juga menyatakan Kemendikud tak bermaksud meniadakan profil pendiri NU tersebut. "Tentu tidak ada maksud untuk menghilangkan. Jadi kalau ada yang menyebut menghilangkan narasi tokoh (Kiai Haji Hasyim Asy’ari) boleh saya pastikan tidak benar. Mohon maaf, hal ini tidak perlu terjadi," tegasnya.

"Kami sudah turunkan buku ini, jadi sudah tidak ada lagi di website Rumah Belajar. Semua buku sejarah modern juga diturunkan sampai ada review," imbuh dia.

PBNU protes dan minta pelakunya ditindak

Tak masuknya nama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Haji Hasyim Asy'ari ini sempat diprotes Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif PBNU, Arifin Junaidi. Bukan hanya itu, dia juga meminta pemerintah menindak pelaku yang dengan sengaja menimbulkan polemik ini.

"LP Ma'arif NU PBNU memprotes keras penghapusan itu dan meminta untuk mencantumkan KHM. Hasyim Asy'ari dalam Kamus Sejarah Indonesia. LP Ma'arif NU juga minta pemerintah untuk menindak keras pelaku penghapusan itu," kata Arifin dalam keterangan tertulisnya yang diterima VOI, Selasa, 20 April.

Penindakan ini, sambungnya, harus diambil guna menghindari kesan jika penghapusan tersebut sengaja dilakukan oleh pemerintah. Apalagi, hal ini terkesan sebagai upaya sistematis yang dilakukan sekelompok orang untuk mengaburkan sejarah dan akar bangsa Indonesia.

"Upaya sekelompok kecil orang melakukan penghapusan itu menunjukkan ada segelintir orang yang ingin mencitrakan kita adalah bangsa yang kerdil. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya," tegas Arifin.

Dia menyebut alasan yang disampaikan Kemendikbud juga tak logis dengan menyebut naskah kamus ini disusun pada 2017 lalu. Sebab, langkah ini dianggap sebagai upaya untuk menafikan peran Kiai Haji Hasyim Asy'ari dan NU dalam sejarah pergerakan.

"Penghapusan itu juga bisa diartikan sebagai upaya mengeleminasi NU dari partisipasi dan kontribusi NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang," ujarnya.

"Sehingga, tidak logis argumen bahwa tim penulis lupa atau belum memasukkan nama KH Hasyim Asy'ari yang jasanya sangat besar bangsa dan negara padahal sosok yang merongrong NKRI masuk ke kamus tersebut," imbuh Arifin.

Kemendikbud diminta hati-hati dengan berkasnya

Imbauan ini datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Komisi Dakwah MUI Cholil Nafis mengingatkan supaya Kemendikbud hati-hati dalam menyimpan berkas atau dokumen agar tak bocor ke publik dan menimbulkan polemik.

"Kalau (masih, red) draft disimpanlah. (Draft, red) itu jangan sampai bocor ke publik. Jadi hati-hati menyimpan berkas yang masih draft," kata Komisi Dakwah MUI Cholil Nafis kepada wartawan, Selasa, 20 April.

Menurutnya, Kamus Sejarah Indonesia yang kini beredar di publik tidak perlu direvisi sebab memang tidak untuk diterbitkan. Hanya saja, dia menyarankan agar kedepannya Kemendikbud lebih berhati-hati lagi dalam menyusun kumpulan tokoh-tokoh sejarah.

"Nggak (perlu, red) direvisi, karena katanya nggak perlu diterbitkan oleh Kemendikbud. Apanya yang direvisi, kan nggak diterbitin, cuma bocor," tegasnya.

"Makanya hati-hati pegang data yang masih draft biar tidak jadi gejolak keluar gitu loh," pungkasnya.