Pernah Ditolak MK, Pembentukan UU KKR Harus Tetap Kedepankan Aspek Yudisial
JAKARTA – Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto berniat menyusun kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) sebagai dasar hukum penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa yang lalu.
Menurut Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, UU KKR pernah disahkan pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2004 silam. Tapi, UU itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 karena beberapa pasal di UU tersebut dianggap tidak memihak korban, termasuk di antaranya pemberian pengampunan bagi pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Karena itu, upaya menghidupkan UU KKR harus sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatur bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu harus tetap mengedepankan proses yudisial.
Baca juga:
Selain itu, Komnas HAM sudah menggelar penyelidikan panjang terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk di antaranya tragedi Semanggi I dan II. Jangan sampai, UU KKR yang baru justru dirancang untuk memutihkan dosa-dosa pelanggar HAM berat di masa lalu.
“Sekarang yang harus dikedepankan adalah pengungkapan kebenarannya dulu, dihukum para pelakunya, baru restitusi. Itu jalan benar. Jadi, tidak dengan meninggalkan yudisal dan mencoba mengabulkan dengan nonyudisial. Itu prinsip negara hukum,” ujar Isnur, Minggu 29 Desember 2024.
Dia menegaskan, UU KKR memang penting sebagai wadah pengungkapan fakta. Tapi, proses ini tidak boleh menggantikan atau menegasikan proses yudisial. “Proses hukum harus tetap berjalan. Mekanisme KKR bisa membantu membongkar fakta, tetapi tidak boleh melindungi aktor yang bertanggung jawab atau menunda keadilan bagi korban,” imbuhnya.