KPK Cari Tahu Proses Pengadaan Merek APD Tertentu di Kemenkes Saat Pandemi COVID-19
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelisik masuknya alat pelindung diri (APD) dengan merek tertentu di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saat proses pengadaan ketika pandemi COVID-19. Dua saksi dicecar soal ini, salah satunya Sri Lucy Novita yang merupakan dokter anastesi dari RSUD Lembang.
"Para saksi hadir dan didalami terkait dengan proses awal mula APD merek tertentu bisa masuk ke Kemenkes pada tahun 2020," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika kepada wartawan, Senin, 23 Desember.
Selain Sri Lucy, pendalaman soal pengadaan APD dengan merek tertentu ini dilakukan dengan memeriksa Eisen Hower Sitanggang yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS) Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat atau dokter. Keduanya diperiksa pada hari ini, Senin, 23 Desember.
Penyidik juga mendalami dokumen pemberian dana talangan dari BNPB ke pihak swasta terkait pengadaan APD. Langkah tersebut dilakukan dengan memeriksa Dody Ruswandi yang menjabat sebagai Plt Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB pada 2020 atau saat pandemi COVID-19 terjadi.
"Saksi hadir dan didalami terkait dengan dokumen tentang pemberian bantuan dana talangan dari BNPB ke pihak swasta pada Maret 2024," ujar Tessa.
Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan dan menahan tiga tersangka dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) saat pandemi COVID-19. Mereka adalah Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik; Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Budi Sylvana; dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia, Satrio Wibowo.
Ketiganya diduga membuat negara merugi hingga Rp319 miliar berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Anggaran pengadaan ini berasal dari Dana Siap Pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2020.
KPK menduga telah terjadi pelanggaran prosedur pembelian. Di antaranya, pendistribusian oleh TNI atas perintah Kepala BNPB saat itu mengambil APD dari produsen milik PT PPM di Kawasan Berikat dan langsung mengirimkannya ke 10 provinsi tanpa dilengkapi dokumentasi, bukti pendukung dan surat pemesanan.
Kemudian ada negosiasi ulang yang dilakukan oleh Harmensyah selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) BNPB supaya harga APD diturunkan sebesar 10 dolar Amerika Serikat atau dari 60 dolar menjadi 50 dolar. Proses ini disebut KPK tidak mengacu pada harga APD merek sama yang dibeli oleh Kemenkes sebelumnya, yakni sebesar Rp370 ribu.
Berikutnya terjadi backdate untuk menunjuk Budi sebagai PPK untuk pengadaan APD di Kemenkes pada 28 Maret 2020. Sedangkan surat dikeluarkan sehari sebelumnya.
Lalu, ada juga Surat Pesanan APD dari Kemenkes kepada PT PPM sejumlah 5 juta set dengan harga satuan 48,4 dolar Amerika Serikat yang ditandatangani oleh Budi, Ahmad Taufik dan Satrio. Hanya saja, tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci.
Selain itu, Surat Pemesanan tersebut ditujukan kepada PT PPM, tetapi PT EKI turut menandatangani. Akibat perbuatannya, para tersangka disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).