Melihat Sisi Gelap Pariwisata Bali, Warga Lokal Kesulitan Beli Tanah
JAKARTA – Pariwisata merupakan sektor perekonomian yang utama di Bali. Namun di balik tingginya kontribusi pariwisata untuk Bali, ada sisi gelap yang dirasakan masyarakat lokal. Mereka kini kesulitan memiliki properti di tanah kelahiran sendiri, karena harganya yang melonjak tajam.
Belum lama ini United Nations Tourism memilih Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali sebagai salah satu desa terbaik dunia. Desa Jatiluwih masuk nominasi berdasarkan rekomendasi 260 aplikasi yang tersebar di 60 negara. Desa ini juga terkenal dengan hamparan sawah dengan sistem subak.
Selain Desa Jatiluwih, Desa Wukirsari, Kabupaten Bantul, Yogyakarta juga masuk kategori desa terbaik.
Kenaikan Harga Properti
Memang, masyarakat Bali mengandalkan sektor pariwisata untuk menggerakan perekonomian di daerah mereka. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari tiga juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada kuartal pertama tahun 2024.
Bali tetap menjadi tujuan favorit turis asing, dengan Bandara Ngurai Rai menyambut 44,5 persen dari total pengunjung asing yang ke Indonesia.
Sektor pariwisata berkontribusi besar, menyumbang 50 persen dari total keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB) Provinsi Bali, dan menghasilkan devisa lebih dari 10 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp162 miliar.
Keindahan Bali ternyata tidak hanya menarik minat wisatawan, tetapi juga investor. Jadi mereka tidak hanya datang untuk berlibur, tetapi sebagian WNA datang untuk berinvestasi dengan membeli properti di sana atau mendirikan bisnis lain.
Selain itu, banyak juga wisatawan asing yang datang untuk menetap. Biasanya mereka awalnya hanya berlibur di Bali, tapi kemudian tinggal berbulan-bulan, sampai bertahun-tahun.
Kondisi inilah yang kemudian memunculkan anggapan pariwisata Bali menyimpan sisi gelap. Karena meski dari sisi ekonomi mendatangkan untung, tetapi di sisi lain mendatangkan masalah untuk warga lokal. Salah satunya adalah persoalan kepemilikan rumah dan tanah bagi warga lokal.
Situs penyedia data properti Bali, Realinfo, menuturkan harga properti di Pulau Dewata naik tujuh persen per tahun dalam lima tahun terakhir. Rata-rata harga tanah di Gianyar misalnya, saat ini dibanderol Rp300 juta per 100 m2, sedangkan di Denpasar rata-rata harga tanah mencapai Rp1 miliar per 100 m2. Harga tanah yang gila ini terjadi akibat adanya permintaan yang tinggi, perkembangan infrastruktur, serta banyaknya lahan yang dijadikan hotel dan vila.
Kenaikan harga properti yang cukup tinggi di Bali dikeluhkan warga lokal. Mereka kesulitan memiliki tanah atau rumah di tanah kelahiran sendiri. Upah Minimum Provinsi (UMP) di Bali untuk tahun adalah sebesar Rp2.813.672, dengan UMR tertinggi berada di Kabupaten Badung, yakni Rp3,31 juta.
Gentrifikasi
Fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di Bali, tetapi juga dialami warga di kasawan wisata populer lain di dunia. Pada pertengahan tahun ini, Spanyol dihebohkan dengan kabar demonstrasi besar-besaran di Barcelona. Mereka ternyata memprotes perkembangan wisata yang sangat masif yang justru berdampak pada kenaikan biaya hidup warga lokal, termasuk kenaikan sewa properti.
Warga di Malaga mengaku sulit menemukan apartemen dengan harga sewa kurang dari 1.200 euro sampai 1.300 euro per bulan (setara Rp20,5 juta-Rp22,2 juta), karena rata-rata gaji di kawasan tersebut berkisar 1.600 euro per bulan (R27,3 juta).
Industri pariwisata memegang peranan penting bagi perekonomian dan mendorong pemulihan ekonomi pascapandemi memang benar adanya. Tapi bagi sebagian kalangan, pariwisata massal yang berujung pada overtourism merugikan warga setempat. Overtourism terjadi ketika warga setempat merasa kehidupan sehari-hari mereka terganggu akibat kehadiran wisatawan.
Sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal European of Tourism Research pada 2021 menyebut overtourism menciptakan gentrifikasi, kerusakan lingkungan dan sosial, kemacetan lalu lintas, pemogokan yang berpusat pariwisata.
Secara khusus, gentrifikasi adalah proses perubahan suatu kawasan yang ditandai dengan peningkatan nilai properti, alih guna lahan, dan masuknya kelompok sosial ekonomi baru yang lebih makmur.
Gentrifikasi pariwisata memainkan peran penting di daerah-daerah yang perkembangan ekonominya lebih rendah dengan mengandalkan pariwisata sebagai faktor pembangunan dan pertumbuhan.
Baca juga:
- Analisis Netray: Keputusan PPN 12 Persen untuk Barang dan Jasa Mewah Didominasi Reaksi Negatif Publik
- Water Birth Tak Direkomendasikan di Indonesia, Ada Bahaya untuk Ibu dan Bayi
- Kenaikan Harga Imbas PPN 12 Persen Berpotensi Ganggu Keharmonisan Rumah Tangga
- Menerka-nerka Parpol Tempat Jokowi Bersandar Usai Didepak PDIP