Badai Volkswagen Jauh dari Kata Usai: Mogok Massal, Persaingan Ketat, dan Tekanan Politik
JAKARTA – Produsen otomotif terbesar Eropa, Volkswagen (VW), tengah menghadapi krisis yang mengancam posisinya sebagai raksasa global. Perselisihan buruh, langkah pengurangan biaya, serta tekanan dari pesaing terutama produsen Asia, membuat VW harus berjuang keras untuk bertahan di pasar yang semakin kompetitif.
Puncaknya, pada 9 Desember lalu, sekitar 68.000 pekerja Volkswagen di sembilan pabrik di Jerman menggelar aksi mogok besar-besaran. Dipimpin oleh serikat pekerja IG Metall, aksi ini menjadi yang terbesar dalam sejarah industri VW, mencerminkan tingkat frustrasi yang semakin meningkat di kalangan karyawan.
Melansir Autoblog, 16 Desember, pemimpin serikat pekerja Thorsten Groeger, menyebut bahwa meski perundingan terbaru menunjukkan kemajuan, risiko eskalasi tetap ada. Jika tidak tercapai kesepakatan dalam negosiasi berikutnya pada 16-17 Desember ini, mogok kerja dapat meluas menjadi aksi 24 jam penuh atau bahkan mogok tanpa batas waktu.
Perselisihan ini dipicu oleh proposal Volkswagen untuk pemotongan gaji dan potensi penutupan pabrik, yang dianggap perusahaan sebagai langkah penting untuk menghadapi penurunan permintaan di Eropa dan persaingan sengit dari rival berbiaya rendah asal Asia. Namun, langkah tersebut ditolak keras oleh para pekerja yang khawatir kehilangan hak-hak mereka.
Baca juga:
Masalah Volkswagen tidak hanya terbatas pada internal perusahaan. Aksi mogok ini terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi dan politik di Jerman. Kanselir Olaf Scholz, yang menghadapi penurunan popularitas menjelang pemilu mendatang, secara terbuka mendesak Volkswagen untuk menghindari penutupan pabrik, menambah tekanan politik pada situasi yang sudah genting.
Di sisi keuangan, kondisi Volkswagen juga kian mengkhawatirkan. Saham perusahaan telah anjlok hampir 25 persen sepanjang tahun ini, menjadikannya salah satu yang terburuk di antara produsen mobil Eropa. Para kritikus, termasuk serikat pekerja, menyalahkan manajemen atas buruknya penanganan krisis yang dianggap merusak kepercayaan publik terhadap merek VW.
Tidak hanya itu, Volkswagen juga menghadapi tantangan besar di pasar kendaraan listrik (EV). Rival asal China seperti BYD terus memperluas dominasi globalnya dengan inovasi agresif dan tenaga kerja yang efisien. Situasi ini membuat Volkswagen harus segera mengembangkan strategi baru untuk bersaing di era elektrifikasi.
CEO Volkswagen, Oliver Blume, bersikeras bahwa langkah pengurangan biaya adalah bagian dari adaptasi perusahaan terhadap perubahan industri. Namun, apakah langkah ini cukup untuk menyelamatkan VW dari krisis berlapis yang tengah dihadapi? Dunia kini menanti langkah besar berikutnya dari sang raksasa otomotif Eropa.