Temukan Dugaan Kecurangan Pilkada Sumut, Jateng, Hingga Jatim, PDIP Bakal Ungkap di Sidang MK
JAKARTA - Ketua DPP PDIP Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional Ronny Talapessy menyebut pihaknya menemukan berbagai dugaan pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) di sejumlah daerah pada Pilkada 2024.
Pelanggaran selama Pilkada 2024 ini, kata Ronny, akan dikumpulkan untuk menjadi bukti pada sidang gugatan sengketa Pilkada 2024 pada daerah yang menjadi temuan.
"Kami melihat bahwa telah terjadi TSM di Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Banten, Jawa Timur. Kami sedang kumpulkan data-data tersebut," kata Ronny di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 28 November.
Dugaan pelanggaran yang ditemukan PDIP di antaranya pengerahan aparat kepolisian untuk mengintervensi pesta demokrasi kepala daerah. Ia melihat hal itu kuat diduga sudah terlihat ketika penempatan kepala kepolisian di tingkatan polres maupun polsek saat Pilkada ini berlangsung.
Tak hanya di institusi kepolisian, kata dia, ini juga coba didesain dengan adanya penetapan penjabat (Pj) kepala daerah di sejumlah wilayah yang menjadi target Jokowi sebagai mantan Presiden. Ronny mengatakan, hal itu secara jelas terlihat dalam proses pergantian Pj Gubernur DKI Jakarta.
"Pj kepala daerah DKI Jakarta ini mengganti camat di 12 wilayah. Jadi indikasinya rotasi ini adalah untuk memenangkan pasangan RIDO. Karena kita akan breakdown lagi bagaimana memobilisasi Bansos, kemudian bagaimana pengerahan perangkat ASN. Ini akan kita breakdown lagi di Mahkamah Konstitusi," jelas Ronny.
"Kemudian, terjadi juga Pj kepala daerah di Jawa Tengah. Hal-hal seperti ini akan kita breakdown, kita akan sampaikan di Mahkamah Konstitusi melalui permohonan kami," tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Ronny menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 136/PUU-XXII/2024 yang mengubah frasa pada pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2018.
putusan tersebut berbunyi "setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI-Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta".
Namun, yang ditemukan di lapangan, justru putusan tersebut seolah tak dipedulikan.
"Kami berharap sekali nantinya di persidangan PHPU di Mahkamah Konstitusi, hakim bisa melihat secara luas, tidak hanya terpatok pasal per pasal, tetapi bagaimana Mahkamah Konstitusi bisa mengembalikkan demokrasi yang sudah cacat dan sudah rusak ini pasca Pilkada 2024," imbuh Ronny.