Polemik di DPR tentang Penggabungan Dua Kementerian
JAKARTA - DPR RI menyetujui penggabungan dua kementerian baru, yakni Kementerian Riset dan Teknologi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek dalam rapat paripurna DPR yang digelar Jumat, 9 April.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menuturkan, DPR telah menerima surat presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 perihal Pertimbangan Pengubahan Kementerian. Surat itu telah ditindaklanjuti melalui rapat konsultasi pengganti rapat Bamus pada 8 April 2021 yang menyepakati penggabungan dan pembentukan Kementerian tersebut.
Politikus Gerindra itu menjelaskan, pengambilan keputusan tentang penggabungan dan pembentukan Kementerian itu berdasarkan Pasal 19 ayat 1 UU 39/2008 tentang Kementerian Negara.
"Yang menyatakan bahwa pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan kementerian dilakukan dengan pertimbangan DPR," kata Dasco.
Menanggapi keinginan presiden yang menggabungkan 2 kementerian tersebut, anggota DPR Fraksi PDIP Masinton Pasaribu mengatakan bahwa rencana ini sudah muncul sejak tahun lalu.
"Kita lihat Presiden pada tahun 2020 lalu sudah mewacanakan itu (penggabungan kementerian, red) bagaimana ada efisiensi di kementerian juga perintah UU semacam kementerian investasi," ujar Masinton dalam diskusi virtual bertajuk Evaluasi Kabinet dan Peta Politik 2024, Sabtu, 10 April.
Baca juga:
Masinton mengungkapkan, dalam surat yang dikirimkan ke DPR memang tidak disebutkan secara rinci alasan Presiden Jokowi menginginkan peleburan 2 kementerian tersebut. Akan tetapi rapat Bamus sepakat untuk menyetujui usulan dibawa ke paripurna DPR.
"Dalam surat presiden tidak disebutkan secara detail tetapi berdasarkan UU nomor 39 tahun 2008 tentang kementerian negara, penggabungan misalnya harus persetujuan DPR. Jadi karena sebelumnya dalam rapat komisi terkait, komisi X, wacana itu sudah mengemuka," ungkap anggota Komisi III DPR itu.
Masinton meyakini Presiden akan merealisasikan gabungan 2 kementerian tersebut. Akan tetapi siapa yang memimpin kementerian itu merupakan hak prerogatif presiden.
"Jadi penggabungan itu kemungkinan besar akan dilakukan presiden karena DPR sudah menyatakan persetujuan atas penggabungan tersebut, dan kemudian juga kementerian investasi sudah dapat persetujuan. Nanti apakah presiden akan (menunjuk, red) untuk mengisi orang, itu prerogatif presiden," kata Masinton.
Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi PKS mengaku pihaknya mau tak mau menyetujui usulan penggabungan 2 kementerian lantaran sudah disepakati dalam rapat Bamus.
Namun PKS memberikan catatan penting untuk pelaksanaan peleburan kementerian tersebut agar diperhatikan pemerintah.
"Karena kan mindahin kementerian itu enggak kaya mindahin lemari. Lemari mah diam saja, ini yang dipindahin orang, program, DIPA, bisa berdampak pada kinerja," jelas Mardani.
Belum lagi menyangkut UU 11 tahun 2011 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi yang merupakan turunan pasal 31 ayat 3 UUD 1945.
"Ini menyedihkan, karena menunjukkan pemerintah kata nari poco-poco untuk riset dan teknologi, padahal ketika pandemi negara maju justru menginvestasikan dana besar buat riset dan teknologi. Sehingga dia bisa jadi yang terdepan menangkap peluang besar karena cuma ada before COVID dan after COVID,” papar Mardani.
Mardani menyayangkan peleburan 2 kementerian tersebut di tengah pandemi yang semestinya negara dapat mengoptimalkan Kemenristek untuk keperluan pengembangan vaksin COVID-19. Bahkan kata dia, keputusan ini adalah langkah mundur pemerintah.
"Buat saya catatan besarnya ini langkah mundur dari penerapan UU," ungkap Mardani Ali Sera.
Senada dengan rekannya di Fraksi PKS, anggota Komisi VII DPR Mulyanto, menyebut kebijakan pemerintah yang menggabungkan fungsi Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merupakan langkah mundur (set back).
Mulyanto berpandangan, Pemerintah tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, di mana peleburan kedua kementerian tersebut sulit berjalan maksimal.
“Kita pernah berpengalaman dengan penggabungan fungsi Pendidikan tinggi dengan Riset dan Teknologi dalam bentuk Kemenristek-Dikti. Ternyata dalam pelaksanaannya tidak berjalan efektif, sehingga fungsi ristek dikembalikan lagi ke Kementerian Ristek dan fungsi Pendidikan Tinggi dikembalikan ke Kementerian Dikbud," ujar Mulyanto dalam keterangannya, Sabtu, 10 April.
Sekarang, sambungnya, Pemerintah malah melakukan hal sama untuk sesuatu yang sudah dikoreksi. "Dengan membentuk Kemendikbud-Ristek. Tentu keputusan ini sangat membingungkan,” tegas anggota Komisi yang menjadi mitra kerja Kemenristek itu.
Legislator dapil Tangerang, Banten itu memprediksi kebijakan penggabungan itu nantinya tidak akan berjalan optimal. Terlebih kata dia, pemisahan atau peleburan lembaga membutuhkan waktu lama untuk koordinasi dan adaptasi strukturalisasi.
“Proses adaptasinya saja perlu waktu sekitar 2-3 tahunan. Sementara Pemerintahan Jokowi periode kedua efektif tinggal 2 tahun lagi. Maka praktis kementerian baru ini tidak akan efektif bekerja di sisa usia pemerintahan sekarang ini,” jelas Sekretaris Kementerian Ristek era Pemerintahan SBY itu.
Bukan hanya anggota DPR RI, Senator di DPD RI pun turut buka suara perihal rencana Jokowi menggabungkan 2 kementerian itu.
Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin menyarankan pemerintah mempertimbangkan kembali peleburan Kemenristek ke dalam Kemendikbud. Sebab menurutnya, penggabungan tersebut justru akan melemahkan fungsi kedua lembaga.
“Kita punya pengalaman di masa lalu terhadap penggabungan kedua kementerian tersebut dan hasilnya justru tidak efektif dan maksimal. Pada akhirnya fungsi ristek dikembalikan lagi ke Kementerian Ristek dan fungsi pendidikan juga dikembalikan ke Kementerian Dikbud,” ujar Sultan kepada wartawan, Sabtu, 10 April.
Seharusnya, lanjut Sultan, pemerintah Jokowi memperkuat kedua lembaga tersebut dengan tetap berdiri sendiri bukan malah menyatukan. Sebab, riset dan inovasi adalah kata kunci dalam kemajuan sebuah negara.
"Maka kita harus membaca konsekuensinya secara efektif, tidak boleh hanya dinilai dari segi efisiensi saja. Sebab dua lembaga (kepentingan) yang disatukan memiliki dampak. Apakah keduanya menjadi lebih kuat, atau terjadinya kanibal yang membuat hanya salah satu fungsi yang berjalan, bahkan bisa jadi keduanya menjadi lemah. Nah pemerintah harus benar-benar memahami akibatnya,” tegas Sultan.
Senator asal Bengkulu itu mengatakan, justru negara-negara maju sangat fokus terhadap riset dan tekhnologi. Bahkan kata Sultan, kebijakan yang dihasilkan juga mesti berpijak dari data hasil riset yang harus dipertanggung jawabkan secara keilmuan (ilmiah).
“Saat ini berapa banyak kebijakan yang memiliki basis keilmuan dari proses sebuah riset. Atau sebaliknya, berapa banyak riset yang dilakukan dan berdampak kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang selanjutnya akan mempengaruhi cara pandang serta cara hidup manusia?,” sindir Sultan.
Menurutnya, untuk menjadi bangsa inovatif yang menguasai IPTEK hanya dengan melalui peningkatan kapasitas riset nasional yang mencakup kuantitas dan kualitas sumber daya iptek.
"Meningkatnya relevansi dan produktivitas riset serta peran pemangku kepentingan dalam kegiatan riset, dan meningkatnya kontribusi riset terhadap sektor kehidupan, termasuk dalam pemulihan pertumbuhan ekonomi nasional dalam tekanan Pandemi seperti saat ini,” sambung dia.
Karena itu menurutnya, Kementerian Dikbud dan Ristek adalah dua fokus yang sangat fundamental dalam membangun kehidupan generasi Indonesia di masa yang akan datang.
"Maka saya berharap bahwa penyatuan dua kementerian ini tidak mengubah arah cita-cita kita agar Indonesia dapat menjadi lebih baik,” pungkas Sultan.