Serikat Musisi Usulkan Delapan Poin untuk Perbaikan Industri Musik Nasional

JAKARTA - Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) jadi salah satu pihak yang ikut terlibat dalam focus group discussion yang diselenggarakan oleh DPR RI baru-baru ini.

Cholil Mahmud selaku Direktur Riset dan Pengembangan FESMI, ditunjuk untuk menyampaikan pandangan organisasi di hadapan pelaku industri musik Tanah Air yang menjadi tamu undangan.

Melalui unggahan Insta Story FESMI, dijelaskan bahwa Cholil dalam pidatonya, menyampaikan delapan poin yang menjadi pekerjaan rumah untuk membangun industri musik nasional yang lebih baik.

Berikut delapan poin yang disampaikan FESMI melalui Cholil Mahmud :

1. Pengedepanan ideologi right to copy agar mampu menjawab tantangan zaman.

2. Pengadopsian putusan MK terkait UU 28/2014.

3. Penyederhanaan dan penguatan Lembaga Manajemen Kolektif.

4. Opsi pidana sebagai ultimum remedium.

5. Pengakuan dan pengaturan terhadap peran penerbit musik/publisher.

6. Platform digital yang lebih diatur kewajibannya.

7. Regulasi lebih detail mengenai lisensi dan royalti.

8. Regulasi mengenai artificial intelligence

Di samping itu, perubahan atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

Melly Goeslaw, penyanyi-penulis lagu yang saat ini menjadi anggota DPR Komisi X menyatakan pentingnya revisi UU Hak Cipta untuk mencegah potensi pelanggaran di era digitalisasi.

“Digitalisasi membuka potensi pelanggaran hak cipta dalam berbagai bentuk. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan tata kelola dan regulasi yang mampu menyesuaikan dengan dinamika digital,” kata Melly, mengutip video unggahan di Instagram, Kamis, 21 November.

“Platform digital seperti media sosial, situs berbagai konten, dan platform streaming menjadi tempat utama distribusi karya cipta saat ini. Namun, pengelolaan hak cipta di platform ini sangat menantang karena konten mudah diunggah dan didistribusikan secara masif oleh pengguna. Platform digital seringkali kesulitan memantau pelanggaran hak cipta secara menyeluruh, terutama dalam mendeteksi konten yang dipublikasikan dan digunakan tanpa izin,” lanjutnya.

Melly melihat perlunya revisi UU Hak Cipta mempertimbangkan perubahan perilaku dan mencari keseimbangan antara perlindungan hak cipta dan kebebasan akses informasi.

“Undang-undang hak cipta juga perlu mengakomodasi teknologi yang cepat dan tidak terduga. Perlu ada reinterpretasi konsep hak moral dalam konteks digitalisasi,” katanya.

Dia juga menyebut pembaruan UU Hak Cipta harus relevan dengan standar internasional dan praktik terbaik global dalam perlindungan hak cipta. Pertimbangan hukum lebih lanjut juga diperlukan mengingat perkembangan teknologi yang begitu masif untuk industri musik.

“Teknologi seperti AI dan deep learning menimbulkan pertanyaan baru tentang konsep hak moral dalam hak cipta. Perlu ada panduan yang jelas mengenai atribusi dan integritas karya yang dihasilkan atau dimodifikasi,” pungkasnya.