Ups! Gelar Doktor Bahlil, Jadi Skandal Nasional
JAKARTA - Pemberian gelar doktor kepada Ketua Umum Partai Golkar, yang juga menteri ESDM, Bahlil Lahadalia menimbulkan polemik, karena disangsikan keabsahannya dan dinilai melanggar etika akademis. Selain keabsahan, prosesnya dinilai janggal. Bahlil Lahadalia dinyatakan lulus dengan menyandang gelar doktor hanya dalam Waktu 1 tahun 8 bulan atau 3 semester dengan predikat cumlaude.
Padahal umumnya program S3 dibutuhkan 6 semester untuk meraih gelar doktor. Beban studi Program Doktor terdiri dari 48-52 SKS yang dijadwalkan untuk 6 semester dan dapat ditempuh sekurang-kurangnya dalam 4 semester, atau selama-lamanya 10 semester. Ironisnya, pemberian gelar akademis yang prestisius untuk Bahlil Lahadalia itu dipertanyakan banyak pihak.
Gelar Bahlil diberikan setelah dia mengikuti program doktoral di Sekolah Kajian Stratejik Global (SKSG) Lembaga di bawah Universitas Indonesia, yang memang diperuntukan bagi mahasiswa S3 yang ingin menempuh pendidikan dengan jalur cepat. Bahlil sendiri, mengambil jalur riset ia tidak perlu kuliah di kelas, dia hanya perlu membuat 3 makalah yang diterbitkan di jurnal-jurnal bereputasi. Syaratnya 1 makalah di jurnal internasional dan 2 jurnal nasional, sebelum diwajibkan membuat disertasi.
Baca juga:
"Dengan hanya menerbitkan Jurnal, bukan berarti lebih mudah daripada mengikuti sejumlah mata kuliah dikelas. Di dunia akademik, dikenal 2 tipe jurnal, jurnal bereputasi dan jurnal abal-abal yang biasa disebut jurnal Predator. Untuk bisa terbit di jurnal predator, kualitas jurnal tidak perlu tinggi-tinggi, yang penting penulis bersedia bayar jutaan rupiah kepada pengelola jurnal." ungkap Ade Armando, pengajar dan alumni UI mengomentari kelulusan Bahlil sebagai doktor, di kanal Cokro.
Dulu kasus semacam ini lazim terjadi, namun belakangan lembaga pendidikan di Indonesia termasuk UI kontrolnya diperketat. Artikel ilmiah hanya boleh diterbitkan di Jurnal yang bereputasi baik. Jurnal seperti ini memiliki editor-editor yang ketat hanya menerima artikel yang berkualitas. "Untuk jurnal Internasional bahkan memiliki editor lintas negara," kata Armando.
Namun singkatnya waktu kuliah Bahlil untuk menempuh studi yang kurang dari 2 tahun, itu dianggap terlalu cepat. Sesuai aturan UI sendiri, mahasiswa program doktoral minimal harus menempuh waktu belajar 2 tahun sampai akhirnya dibolehkan menyusun disertasi dan sidang pengujian kandidat doktor. "Waktu 1 tahun 8 bulan dianggap terlalu cepat," ujar Armando lagi.
Sehingga muncul berbagai tudingan diantaranya Bahlil diduga membayar pimpinan UI, ada juga yang menuding disertasinya disusun oleh joki berbayar. Bahkan disertasi Bahlil diakur-akurkan atau dituding sebagai hasil plagiat dari skripsi dari mahasiswa UIN.
Masalah makin rumit menyusul pernyataan dari Jatam yang merasa keberatan dengan pencatuman namanya sebagai informan disertasi Bahlil. Karena tidak merasa memberikan informasi ke Bahlil. Diakui, pihaknya didatangi seorang peneliti bernama Ismi Azkia yang mengaku dari Lembaga Riset Demografi UI. Namun saat dikonfirmasi apakah wawancaranya untuk penelitian Bahlil, namun tidak ada penjelasan yang jelas dari Ismi. Ismi justru memberikan kontak nomor seseorang yang tidak jelas. Sehingga Jatam kemudian mengirim surat ke UI, menyatakan keberatan dengan pencantuman nama lembaganya dalam disertasi Bahlil.
"Kami tidak pernah memberikan persetujuan untuk menjadi informan dalam disertasi Bahlil," tulis Koordinator Nasional Jatam, Melky Nahar, dalam surat keberatan kepada UI.
Bahkan banyak dosen dan alumni mengaku malu dengan apa yang terjadi. Universitas Indonesia selama ini dikenal sebagai lembaga yang ketat menjaga tradisi akademi, namun dengan mudahnya meloloskan seseorang seperti Bahlil, sehingga menimbulkan kegusaran banyak kalangan. Alumni Fisip UI juga membuat petisi yang dikirim ke rector, mereka mendesak rektor untuk mengkaji ulang pemberian doctor kepada Bahlil.
Kita berharap pihak UI yang lembaganya tercoreng nama baiknya kabarnya telah membentuk tim investigasi untuk meneliti keabsahan pemberian gelar untuk Bahlil. Keputusan dewan Guru besar akhirnya menunda pemberian gelar Bahril sebagai doktor termasuk pencantuman dan penggunaan gelar tersebut di belakang namanya.
Setelah menangguhkan gelar Bahlil, UI juga menyampaikan permohonan maaf. Pihaknya akan menggelar sidang etik, mengambil sejumlah langka baik secara akademik dan etika. Bahkan terkait kasus itu juga berimbas pada permintaan audit dan tata Kelola SKSG sebelum penerimaan mahasiswa baru Sekolah Kajian Stratejik Global sebagai komitmen menjaga mutu.
Ramai-ramai Bela Bahlil
Namun sejumlah nama yang terlibat dalam proses pengujian Bahlil, kekeh menyatakan pengujian itu telah sesuai ketentuan dan syarat. Teguh Dartanto Phd misalnya, Dekan FEB UI, sebagai co promotor sidang Bahlil, Teguh, sejak awal juga mewanti-wanti Bahlil, bahwa studi ini bukan pembenaran apa yang anda lakukan. Karena Bahlil saat itu posisinya sebagai policy maker atau pembuat kebijakan.
Teguh mengakui pihaknya, yang awalnya mengarahkan Bahlil untuk mengambil Sekolah Kajian Stratejik Global (SKSG). Saat itu Bahlil menanyakan adakah studi yang tepat mengenai hilirisasi dan dampak sosial bagi masyarakat, dia mengarahkan ke sekolah itu karena disitu multidisipliner.
Sebagai co promotor dia, pun meminta Bahlil dengan segala keterbatasan waktunya untuk mau turun ke lapangan melihat langsung kondisi hilirisasi nikel di Morowali. "Saya ingin memastikan karena sebagai pejabat, jangan sampai cuma omon-omon. Sebagai pejabat Bahlil orang selalu dikawal pihak keamanan, saya minta saat itu tidak didampingi keamanan supaya bisa berinteraksi dan wawancara dengan masyarakat, dan mendapatkan data langsung, data bukan hanya wawancara, juga data citra satelit." ujar Teguh saat dicecer Rhenald Kasali melalui podcastnya
Teguh juga mengaku mendorong Bahlil melakukan wawancara kepada ekspert luar seperti seperti dengan Dani Rodik dari Harvard University sebagai "mbahnya" industrialisasi, juga dengan Ha Joon Chang dari SOAS London University, dan Justin Yifu Lin dari Peking University untuk melihat bagaimana pengalaman hilirisasi di Cina dan di Korea.
Kesaksian serupa juga dilontarkan Athor Subroto, PHD selaku Direktur SKSG dan co promotor dari sidang Bahlil. Menurutnya Bahlil telah melewati 3 kali seminar seperti yang menjadi syarat sebelum mengajukan proposal penyusunan disertasi. Pengakuan serupa juga disampaikan ketua Sidang Bahlil, yakni Prof I Ketut Surajaya selaku Ketua Prodi Kajian Wilayah Jepang.
Salah satu penguji Prof Arif Satria juga mengatakan pengujian Bahlil telah berjalan sesuai. Karena sebelum pengujian pihaknya telah mengkonfirmasi berbagai keraguan publik, termasuk soal penerbitan jurnal, soal masa studi "Tetapi setelah dikonfirmasi ke pimpinan semua ok, ya sudah gohead," katanya.
Arif mengaku tertarik dengan hasil temuan Bahlil, hilirisasi punya dampak buruk dan sangat buruk bagi lingkungan, itu poin penting penelitian Bahlil. Yang berjudul: “Kebijakan dan tata kelola hilirisasi nikel yang berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia”.
Pengakuan serupa juga disampai Prof Dr. Chandra Wijaya, selaku promotor Bahlil lainnya, ia mengaku kagum dengan kelincahan mahasiswanya ini, menurutnya di tengah kesibukannya bisa mengatur waktu, termasuk wawancara dengan expert diantara dengan Rodriguez si pencetus teori "negara pembangunan". "Bahkan di tengah kesibukan dia bisa mengatur waktu, dan dia kalau bimbingan, mau datang ke tempat saya". tambah Chandra, yang kabarnya menjadi salah satu komisaris independen di perusahaan yang berafiliasi dengan Bahlil.
Namun Rocky Gerung melihat ujung dari polemik skandal doktor Bahlil adalah soal kepentingan Politik. Dilihat dari pernyataan ketua MWA (Majelis Wali Amanat) Yahya Staquf yang menyatakan gelar Bahlil tidak dibatalkan cuma ditunda hingga Desember untuk memenuhi 4 semester. Jadi isunya telah berpindah dari isu akademik ke isu politik.
"Padahal dari awalnya para guru besar UI ini ingin menguji cara Bahlil mempertahankan disertasinya dan cara penguji meloloskan disertasinya," kata Rocky saat bicara dengan Harsubeno Arif. Tapi Kini kita melihat bagaimana UI diobrak-abrik dengan tukar tambah kepentingan.
Kita sudah menduga ada semacam gerakan selamatkan Bahlil. MWA diduga memiliki kepentingan untuk mengamankan kedudukan Bahlil di Golkar dan ESDM agar tidak goyah, yang akan mengancam janji politik Bahlil untuk membagi rezeki tambang menjadi batal. Bukan demi kemuliaan akademis tetapi demi keuntungan bisnis dan politik yang akan hilang jika Bahlil tidak selamat dari kasus ini.
Sehingga bukan hanya Bahlil yang harus disalahkan tapi juga UI yang harus disalahkan, kita melihat bagaimana UI di bujuk dan ditekan di tengah rektornya yang datang dari hasil tukar tambah dan disponsori oleh Politik.