Sejauh Mana Efektivitas Janji Surga dalam Kampanye Calon Bupati?
JAKARTA – Nama calon Bupati Mesuji, Lampung, Elfianah Khamami mendadak jadi sorotan publik. Alasannya, ia mengatakan warga yang memilihnya di Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024 dijanjikan bakal masuk surga.
Sejak kemarin, warganet dihebohkan dengan video yang diduga kampanye Elfianah Khamami menjelang Pilkada 2024. Dalam kampanyenya, ia menebar sejumlah janji-janji. Tapi janji Elfianah terbilang agak lain.
Dalam video yang viral di media sosial, Elfianah terlihat berbicara di hadapan warga. Ia mengklaim, mereka yang memiliki dirinya akan masuk surga dan mendapat syafaat dari Nabi Muhammad SAW di akhirat kelak.
“Insya Allah bu, besok di akhirat jenengan bisa membayangkan orang lagi dapat perhitungan dari akhirat nanti, tapi kita malah dipanggil, mendapat syafaat dari Rasulullaj shallallahu alaihi wasallam,” tutur Elfianah dalam kampanye yang dihadiri warga setempat.
Di kesempatan yang sama, Elfianah juga memperkenalkan program unggulannya kepada masyarakat, yaitu menyantuni anak yatim. Ia bilang program ini merupakan jalan menuju surge bagi mereka yang memilih nomor dua.
"Kita dipanggil, hai orang-orang Mesuji kemarin, yang memilih nomor dua, ayo ikut bersamaku... masuk surga bersamaku, karena program nomor dua menyantuni anak yatim," lanjut Elfianah.
Tiga Perilaku Pemilih
Sejak 2005, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung atau setahun setelah pemilihan presiden juga dipilih langsung oleh rakyat. Dengan adanya pemilihan langsung, masyarakat diberi wadah untuk menentukan pemimpin daerahnya secara langsung dan memilih sesuai dengan aspirasi yang ingin diperjuangkan.
Pemilu merupakan sebuah proses sekaligus sarana rakyat berdemokratis untuk menyalurkan aspirasinya sebagai bentuk mewujudkan kedaulatan dari rakyat itu sendiri.
Studi tentang perilaku pemilih atau electoral behavior merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan bagian dari perilaku politik (political behavior). Menurut Guru Besar Ilmu Politik FISIK Unair Prof Ramlan Surbakti, secara terminologis perilaku politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah, dan interaksi antara kelompok individu dengan masyarakat.
Sedangkan perilaku memilih adalah aktivitas atau keputusan warga negara untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilih dalam sebuah pemilu. Ada tiga pendekatan dalam menganalisis perilaku pemilih. Pertama, Madzhab Columbia dikenal dengan pendekatan sosiologis, kemudian Michigan Model atau pendekatan psikologis, dan ketiga Rational Choise yaitu pendekatan mengedepankan pilihan rasional.
Baca juga:
- Ospek Kabinet Merah Putih di Gunung Tidar Memupuk Kerja Sama, Menghapus Ego Sektoral
- Ribut-ribut Soal Penggantian Kurikulum Merdeka, Apa Sebenarnya Masalah Pendidikan Indonesia?
- Pemecahan Kemendibud Ristek jadi Tiga Nomenklatur: Tambah Fokus atau Makin Rumit?
- Kabinet Merah Putih Tidak Mencerminkan Kemauan Prabowo Menjawab Urgensi Masalah Indonesia
Pendekatan sosiologis berarti perilaku politik seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti sosial ekonomi, afiliasi etnik, tradisi keluarga, keanggotaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, dan tempat tinggal. Pendekatan sosiologis lebih menekankan pada variabel pengelompokan sosial dalam melihat perilaku pemilih.
Sedangkan pendekatan psikologis adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi seseorang terhadap partai tertentu yang kemudian akan memengaruhi sikap orang tersebut dalam memutuskan calon atau sikap terhadap pilihan isu-isu yang berkembang.
Sementara pemilih rasional, berkaitan dengan orientasi utama pemilih yaitu orientasi isu dan kandidat. Perilaku pemilih berorientasi isu berpusat pada pertanyaan: apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara.
Segmen Pemilih Sosiologis
Komisioner KPU Idham Holik mengatakan pendekatan sosiologi melihat perilaku pemilih karena pengaruh budaya yang tercermin dalam personalisasi politik. Misalnya, spanduk, banner, billboard dengan wajah ketua umum partai berukuran lebih besar daripada lambang partai.Tema kampanye sebagai sarana sarana pendidikan pemilih dengan cara menawarkan misi visi dan program justru tidak diutamakan.
“Justru tema kampanye yang dipilih menekankan kepada pilih yang tampan, cantik, ramah, tetapi tidak pernah berbicara tentang visi, misi, program sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang pemilu tentang definisi kampanye,” kaya Idham dikutip laman KPU.
Kembali ke janji surga yang dilontarkan Cabup Mesuji Lampung Elfianah Khamami saat kampanye. Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan janji surga yang dilontarkan Elfianah dapat terjadi karena angka pemilih sosiologis di Indonesia masih cukup tinggi, terutama di daerah-daerah.
Pemilih sosioligis, kata Pangi, cenderung memilih kandidat karena kesamaan latar belakang, asal usul, agama, maupun etnis. Pemilih sosiologis memang tidak mau tahu mengenai kinerja atau track record pemilihnya.
“Makanya isu-isu agama dimainkan untuk memancing pemilih. Jualan agama memang masih laku di beberapa daerah, dibandingkan di kota besar,” ujar Pangi saat dihubungi VOI.
“Kinerja atau prestasi tidak dilihat, justru asal-usul yang dilihat. Ada juga pemilih yang memilih calonnya karena good looking saja. Segmen pemilih seperti ini masih ada, tergantung apakah di perkotaan atau di desa, tergantung ekonomi, demografis masyarakat, dan lain sebagainya,” Pangi mengimbuhkan.
Dihubungi terpisah, Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengaku gerah dengan janji-janji politik yang diumbar Elfianah. Dedi menegaskan, janji politisi semacam itu seharusnya masuk ranah pidana dan kriminal.
“Pertama karena menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dibuktikan, artinya itu penipuan,” tegas Dedi.
“Kedua, janji semacam itu tidak menghormati kedaulatan warga negara di mana seharusnya urusan politik adalah soal kesejahteraan dunia, pelayanan duniawi,” ia menambahkan.
Untuk itu, Dedi mengatakan Pemilih sudah pantas menghindari kandidat semacam itu.