Kabinet Merah Putih Tidak Mencerminkan Kemauan Prabowo Menjawab Urgensi Masalah Indonesia
JAKARTA - Kabinet gemuk bentukan Presiden Prabowo Subianto masih menjadi sorotan. Publik banyak berburuk sangka bahwa Kabinet Merah Putih (KMP) hanya sebagai ajang balas budi Sang Presiden untuk para pendukungnya.
Kabinet Merah Putih 2024-2029 baru saja diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Minggu (20/10/2024) sebelum akhirnya dilantik keesokan harinya. KMP berisi 48 menteri dan 56 wakil menteri, ditambah lima lembaga setingkat kementerian anggota kementerian. Total ada 109 menteri dan wakil menteri di kabinet ini
Gemuknya kabinet Prabowo terjadi setelah revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang disahkan pada September tahun lalu. Dengan UU tersebut, Prabowo dan presiden selanjutnya punya hak menyusun kabinet sebesar atau sekecil apa pun, karena memang jumlah kementerian menjadi tidak terbatas.
Beberapa pakar politik menyebut gemuknya Kabinet Merah Putih terjadi sebagai bentuk balas budi Prabowo kepada mereka yang mendukungnya sepanjang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Hal lain yang juga menjadi sorotan atas terbentuknya KMP adalah membengkaknya anggaran karena adanya perubahan nomenklatur sejumlah kementerian.
Yanuar Nugroho, pendiri sekaligus penasihat Nalar Institute, mengatakan, andai benar keputusan Prabowo membentuk kabinet gemuk hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik sah-sah saja, karena ini merupakan hak prerogatif sang presiden.
Sementara pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI Hendri Satrio mengajak masyarakat untuk tidak terus berburuk sangka terhadap Kabinet Merah Putih. Ia justru menyerahkan kinerja para menteri KMP, setidaknya sampai 100 hari pertama.
“Jadi kalau diawal-awal ini saya harus meletakan kepercayaan dulu untuk dukung mereka. Karena kalau enggak kan repot belum apa-apa sudah dituduh macam-macam ya,” kata pria yang akrab disapa Hensat ini.
Sulit Bekerja Cepat
Dengan 48 menteri yang dilantik Prabowo pad Senin (21/10/2024), KMP merupakan kabinet paling gemuk sejak era Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Ini tentunya menjadi perbincangan banyak kalangan.
KMP pun kemudian mendapat julukan sebagai kabinet balas budi. Pendiri sekaligus penasihat Nalar Institute, Yanuar Nugroho tidak keberatan dengan kabinet gemuk, namun ia berharap Prabowo bisa membuktikan bahwa kabinetnya profesional. Jika kabinetnya tidak menunjukkan kinerja positif, janji-janji politik dalam Asta Cita bisa gagal diwujudkan.
Sejumlah risiko bakal dihadapi kabinet obesitas bentukan Prabowo Subianto, menurut Yanuar. Pertama, kabinet tidak bisa langsung beroperasi, apalagi berlari. Dikatakan Yanuar, penataan ulang, apalagi pembentukan kabinet atau lembaga baru membutuhkan waktu untuk bisa berjalan atau bekerja. Ia mencontohkan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), dan Orotita Ibu Kota Nusantara (OIKN) dalam beberapa tahun ke belakang.
“Urusan SOTK (susunan organisasi tatakerja), penggajian, aturan kerja, dan lain-lain tidak bisa seketika dijalankan, padahal Prabowo butuh kabinetnya segera bisa bekerja,” kata Yanuar, dalam siniar Akbar Faisal Uncesored.
Prabowo juga akan menghadapi tantangan lain, yaitu koordinasi yang tidak mudah karena adanya 48 kementerian. Menurut Yanuar, tiap K/L kerap kali bekerja dengan kacamata kuda alias hanya fokus pada sektornya. Mantan Presiden Joko Widodo bahkan berkali-kali mengeluhkan sulitnya koordinasi dengan 34 kementerian di bawahnya. Bagaimana dengan Prabowo yang memiliki lebih banyak kementerian?
Ketiga, gemuknya KMP membuat kinerja menjadi tidak efisien. Menurut Yanuar, satu urusan atau isu yang mestinya bisa ditangani cepat oleh satu-dua kementerian, kini membutuhkan waktu dan sumber daya lebih banyak karena ditangani lebih banyak kementerian.
“Dari sini saja kita bisa membayangkan, akibat obesitas ini, Kabinet Merah Putih tak akan segera bisa berkibar, tak akan bisa segera berlari kencang,” ucap Yanuar.
Meski Prabowo sudah mengumpulkan semua calon menteri dan wamen dalam pembekalan di Hambalang, yang disebut Yanuar sebagai langkah yang bagus dan tepat, tapi pembekalan saja tidak cukup.
“Karena begitu sampai pada kerja konkret kementerian, kompleksitas persoalan yang dihadapi tidak seperti saat simulasi dalam pembekalan. Kerumitannya nyata, mulai dari soal teknis, administratif birokratis, hingga politis,” lanjut dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Jakarta ini.
Kompromi Politik Besar
Berulang kali Presiden Prabowo menyebut akan membentu Zaken Kabinet atau kainet dalam pemerintahan yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli dan bukan representasi dari suatu partai politik tertentu. Namun Yanuar merasa kecewa karena KMP diisi banyak orang dari partai pendukung Prabowo-Gibran di Pilpres lalu.
“Ini menunjukkan kompromi politiknya besar. Juga ada beberapa artis, meski bukan berarti artis tidak kredibel. Tapi dalam keadaan semendesak ini, urgensi tidak terlihat dalam kabinet,” ucapnya.
“Kabinet ini tidak mencerminkan kemauan Prabowo menjawab urgensi masalah Indonesia, karena ada yang kredibilitasnya diragukan,” imbuh Yanuar.
Yanuar Nugroho berharap Prabowo Subianto memiliki jalan keluar sehingga kekhawatiran-kekhawatiran yang selama ini digaungkan banyak kalangan, termasuk dirinya, tidak terjadi. Ia sendiri menyebut setidaknya ada tiga poin yang menurutnya bisa menjadi terobosan konkret.
Pertama, pengawasan dan pengendalian pembangunan. Prabowo perlu meneruskan Kantor Staf Presiden (KSP) yang berdiri sejak era Jokowi. KSP ini, yang sebenarnya adalah kelanjutan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) di era Susilo Bambang Yudhoyono, mesti diperkuat.
Baca juga:
- Menanti Keseriusan Kementerian Komunikasi dan Digital Tangani Isu Keamanan Siber
- Kabinet Gemuk Bentukan Prabowo Subianto, Tumpang Tindih Kekuasaan dan Pemborosan Anggaran
- Tantangan Presiden Prabowo Subianto Menuju Indonesia Emas 2045
- Tingkat Kepuasan Terhadap Presiden Jokowi Tinggi, Sebagian Besar Masyarakat Abai Isu Politis
“Bukan secara politis, tetapi secara teknokratis untuk mengendalikan pembangunan. Memastikan janji politik presiden diterjemahkan dalam prioritas pembangunan,” tuturnya.
Kedua, merapikan kerangka regulasi. Ia berharap tidak ada benturan kepentingan di antara kementerian yang jumbo ini. Yanuar menyebut jika regulasi antar kemenerian bertabrakan, bisa dipastikan program pembangunan akan macet.
Terakhir, menyusun mekanisme akuntabilitas. Artinya, satu inisiatif atau prioritas yang ditugaskan mesti jelas siapa penanggungjawab utamanya. Tapi perencanaan dan penganggarannya melibatkan bukan hanya BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan Kemenkeu, namun juga BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai pencegahan.
"Demikian juga pengawasan implementasi dan evaluasinya. Ini mencegah korupsi sejak awal,” pungkasnya.