Kabinet Gemuk Bentukan Prabowo Subianto, Tumpang Tindih Kekuasaan dan Pemborosan Anggaran
JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto telah melantik jajaran menteri dan wakil menteri, pada Senin (21/10/2024). Kabinet pimpinan Prabowo ini dianggap yang paling gemuk sejak Orde Baru hingga Reformasi.
Rangkaian pelantikan 48 menteri negara dan 56 wakil menteri telah dilangsungkan di Istana Negara sehari setelah Prabowo resmi didapuk sebagai Presiden kedelapan Republik Indonesia, menggantikan Joko Widodo. Sehingga secara keseluruhan ada 106 jajaran menteri dan wakil menteri dalam Kabinet Merah Putih.
Selain jajaran menteri, Presiden Prabowo juga melantik pejabat setingkat menteri. Mereka adalah Jaksa Agung, Kepala dan Wakil Kepala Staf Kepresidenan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kepala Kantor Komunikasi Presiden, serta Ketua Dewan Ekonomi Nasional.
Kabinet Merah Putih, begitu nama kabinet yang dipimpin Presiden Prabowo. Sejak sebelum pelantikan awal pekan ini, desas-desus soal kabinet Prabowo sudah menjadi perbincangan berbagai kalangan.
Prabowo diramalkan bakal mengakomodir nama-nama yang sudah berjasa dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Apalagi pasangan Prabowo-Gibran diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berisi Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, dan Partai Demokrat, serta partai non-parlemen.
Adanya revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang disahkan pada 19 September lalu, menguatkan dugaan bahwa kabinet Prabowo akan gemuk. Sebelumnya, pada pasal 15 UU 39/2008 hanya memungkinkan presiden memiliki maksimal 34 kementerian demi reformasi birokrasi.
Itu artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkan melebihi jumlah tersebut dan diharapkan berkurang. Namun setelah pelantikan, analisis yang dilontarkan sejumlah pakar bahwa Prabowo akan membuat “kabinet balas budi” benar adanya.
Dasar Kajian Dipertanyakan
Prabowo-Gibran melakukan sejumlah perombakan, terlihat dari jumlah kementerian koordinator di Kabinet Merah Putih. Kabinet Prabowo memiliki 14 kementerian baru dari total 48 kementerian. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan era Jokowi yang hanya memiliki 34 kementerian.
Hal ini pula yang menyebabkan jumlah menteri Kabinet Merah Putih membengkak. Padahal sebelumnya, di era Presiden Soeharto, yang menjabat selama 32 tahun, jumlah menteri terbanyaknya terjadi pada periode 1988-1993.
Kabinet Pembangunan V saat itu memiliki total 44 menteri. Sedangkan di era Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono masing-masing memiliki 36, 33, dan 34 orang menteri. Jokowi, yang memimpin di 10 tahun terakhir dibantu oleh 34 menteri di masing-masing periodenya, Kabinet Kerja dan Kabinet Indonesia Maju.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menampik tudingan bahwa susunan menteri Prabowo adalah kabinet gemuk. Menurut dia, justru organisasi kementerian jadi lebih ramping sekarang karena dipisah-pisah.
Ia mencontohkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dipecah menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat membuat masing-masing lebih fokus pada tugas masing-masing.
Begitu pula dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang kini dicacah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.
“Jadi bisa dibayangkan organisasi yang kemarin gemuk justru sekarang jadi lebih ramping,” kata Hasan Nasbi.
Namun pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Lina Mifthahul Jannah mempertanyakan dasar kajian dan evaluasi kinerja yang membuat banyak kementerian dipecah.
Baca juga:
- Tantangan Presiden Prabowo Subianto Menuju Indonesia Emas 2045
- Tradisi Tabok Sirih, Mitos yang Dipercaya Turun Menurun untuk Menangani Speech Delay
- Erina Gudono Pamer Makan Gaya Omakase Usai Melahirkan: Amankah Makanan Itu bagi Kesehatan Ibu?
- Salah Kaprah Mengartikan Anak Sehat, Steroid Sering jadi Jalan Pintas Menaikkan Berat Badan
“Ketika membuat lembaga baru, seharusnya ada kajian mendalam. Kalau masalah koordinasi, jelas ini kemunduran (reformasi birokrasi). Yang bisa dijadikan satu malah dipecah,” tutur Lina.
Ia menambahkan, gemuknya Kabinet Merah Putih bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi. Alih-alih semakin efisien, kabinet gemuk justru dapat memperpanjang dan memperumit alur birokrasi, serta memicu tumpang tindih kewenangan.
"Itu jadi gambaran kalau tujuannya untuk kepentingan politik semata," ucap Lina seraya menjuluki Kabinet Merah Putih sebagai "kabinet balas jasa".
Tanda Tanya Zaken Kabinet
Sebelum pengumuman menteri dan wakil menteri, Prabowo Subianto berencana membentuk kabinet zaken (zakenkabinet), yaitu di mana posisi anggota kabinet diisi oleh para ahli di bidangnya masing-masing. Hal senada juga dituturkan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, yang menjelaskan bahwa kabinet ini diisi orang-orang yang memiliki kompetensi di bidangnya.
Sosiolog asal Jerman Max Webber menekankan pentingnya meritokrasi dalam struktur pemerintahan, di mana orang-orang yang dipilih untuk memegang jabatan publik didasarkan pada kemampuan, keahlian, dan rekam jejak profesional mereka. Meritokrasi memastikan bahwa keputusan-keputusan penting diambil oleh individu-individu yang kompeten dan berpengalaman.
Mengutip laman Center of Economic and Law Studies (CELIOS), publik sebenarnya berharap bahwa pemerintahan baru ini akan dibentuk oleh individu-individu profesional yang mampu membawa perubahan positif dan efektif dalam tata kelola negara.
"Namun kekecewaan mulai terasa di kalangan masyarakat karena beberapa nama yang muncul bukanlah sosok yang dikenal karena keahlian profesional mereka, melainkan lebih pada balas jasa politik pasca pemilu," tulis CELIOS.
Seperti diketahui, dari 106 nama yang dilantik menteri dan wakil menteri, sebanyak 45 di antaranya terafiliasi dengan partai politik. Gerindra, parpol yang diketuai Prabowo, mengirim 15 kadernya di Kabinet Merah Putih. Disusul Partai Golkar yang kebagian 11 posisi menteri maupun wakil menteri, PAN dan Partai Demokrat masing-masing mendapat jatah empat.
Hal ini makin menguatkan dugaan bahwa pengisian jajaran kabinet didasarkan pada kepentingan balas budi politik yang memprioritaskan aktor-aktor sentral dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
Peneliti CELIOS Galau D. Muhammad mengatakan pembagian jabatan ini tidak hanya menimbulkan kekecewaan secara moral, tetapi juga berpotensi menciptakan pemborosan anggaran yang signifikan.
“Semakin banyaknya wakil menteri yang diangkat berarti akan meningkatkan belanja negara, termasuk gaji para staf pendukung, pengadaan mobil dinas, fasilitas kantor, hingga pembayaran gaji pensiun bagi menteri dan wakil menteri tersebut,” ujarnya.