Alasan Publik Kerap Terkejut dengan Kejahatan Seksual di Panti Sosial
JAKARTA – Kasus kejahatan seksual yang terjadi di panti sosial kembali menjadi perhatian. Puluhan siswa diduga menjadi korban pencabulan di Panti Asuhan Darussalam An’Nur, Kota Tangerang.
Dean Herdesviana dan Ardini mengungkapkan kasus pencabulan yang terjadi di panti asuhan yang ia danai tersebut. Mulanya mereka dihubungi satu orang yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual.
Atas pengaduan ini, para donatur lantas melaporkannya ke Polres Metro Tangerang Kota. Setelah dilakukan penyelidikan, polisi menetapkan tiga tersangka yaitu Abi Sudirman (45) sebagai ketua yayasan, Yusuf Bachtiar (30) dan Yandi Supriyadi (28) sebagai pengasuh. Dua nama terdepan telah ditangkap, sedangkan Yandi masih diburu polisi.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 76E juncto Pasal 82 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Ancaman pidana minimal 5 tahun, maksimal 15 tahun atau denda paling banyak Rp 5 miliar," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi.
Ekspektasi Masyarakat Tinggi
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di panti sosial maupun lembaga pendidikan berasrama seperti sudah menjadi hal biasa di Indonesia, karena saking seringnya terjadi. Sebelum ini, kasus kekerasan seksual juga terjadi beberapa panti asuhan lain.
Pada Oktober 2022 misalnya, pemilik panti asuhan di Purwokerto Barat, Banyumas, Jawa Tengah berinisial UP (51) mencabuli anak asuhnya sendiri yang masih berusia 17 tahun. Setahun kemudian, tepatnya pada Mei, pengurus panti asuhan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat berinisial EEF (61) ditangkap atas kasus serupa. Korbannya adalah anak asuh yang masih di bawah umur.
Lalu pada Mei 2024, anak di bawah umur kembali menjadi korban pencabulan pengasuh panti asuhan berinisial BS (53) di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung. BS bahkan melakukan tindakan bejat ini berulang kali sejak 2022.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah mengatakan, tingginya kekerasan seksual dan pencabulan terhadap anak di lingkungan panti sosial atau lembaga pendidikan berasrama karena ekspektasi masyarakat terhadap lembaga tersebut besar.
Masyarakat berharap lembaga tersebut seharusnya menjamin perlindungan dan keamanan anak. Maka ketika terjadi kasus kekerasan seksual di panti sosial, banyak masyarakat terkejut, seperti yang terjadi di Panti Asuhan Darussalam An’Nur, Kota Tangerang.
“Ada empati masyarakat, lalu pendekatannya juga biasanya religius, ada pendekatan kemanusiaan, charity. Jadi kita tidak menyangka atau kecil kemungkinan akan ada hal-hal seperti itu di dalam sana,” ucap Ai.
Begitu pula dengan institusi pendidikan berbasis asrama yang juga marak terjadi kasus kekerasan seksual. Menurut Ai, banyak masyarakat yang menaruh harapan agar anak yang mereka titip dapat menjadi anak yang baik. Para orangtua tidak mungkin menyangka anak yang dititipkan di lembaga pendidikan berasrama akan diperlakukan buruk.
“Itu kan semacam institusional branding yang mudah sekali manipulasinya kepada kita semua,” ucap dia.
Pernyataan Ai terkait maraknya kejahatan seksual di lingkungan panti sosial dan pendidikan berasrama seturut dengan pengakuan Dean Herdesviana. Donatur yang juga kawan lama pendiri panti asuhan, Sudirman, mengaku kaget dengan apa yang dilakukan temannya tersebut. Ia dan para donatur lainnya tertipu karena penampilan Sudirman yang begitu rapi, manis, agamis.
“Warga setempat bilang dia baik, suka sedekah, berbagi di mana-mana. Di depan saya juga keseringan lidahnya berzikir," kata Desvi.
Permainan Psikologis Predator Anak
Sementara itu, pemerhati pendidikan Doni Koesoema menyebut relasi kuasa atau ketimpangan kekuasaan menjadi faktor yang kerap melatarbelakangi tindak kekerasan seksual. Doni juga menjelaskan, relasi kuasa di panti asuhan jauh lebih besar dibanding yang lain, sehingga enyebabkan kekerasan seksual terus berulang.
Ini karena anak-anak dengan mayoritas berlatar belakang yatim, piatu, serta yatim piatu sangat bergantung kepada pemilik dan pengasuh. Kondisi ini membuat anak-anak merasa berutang budi dan rentan menjadi korban tipu daya pelaku.
"Posisi yang timpang ini memungkinkan orang-orang panti asuhan yang tidak memiliki integritas moral itu melakukan niat jahatnya dengan cara memperdayai anak-anak di panti asuhan," kata Doni.
Reza Indragiri Amriel, psikolog forensik mengatakan kejahatan seksual terhadap anak bisa terjadi di komunitas mana pun, termasuk di panti asuhan maupun lingkungan pendidikan berasrama.
Baca juga:
- Deflasi Lima Bulan Berturut-turut karena Masyarakat Tak Punya Uang untuk Belanja
- Anomali di Indonesia, Ekonomi Katanya Lesu tapi Tiket Konser Musik Jutaan Rupiah Laris Manis
- Kasus Bunuh Diri pada Mahasiswa Makin Sering, Mengapa Anak Muda Berisiko Ingin Mengakhiri Hidup?
- Konflik Global, Perubahan Iklim, dan Food Estate Salah Urus: Indonesia Hadapi Ancaman Krisis Pangan
“Lingkungan tertutup dan pola relasi yang terbangun ditandai oleh guru agama sebagai pihak yang dominan dan santri sebagai pihak yang submisif,” kata Reza kepada VOI.
Mengenai predator anak yang kerap dipandang ‘baik-baik saja’ oleh masyarakat, menurut Reza justru sengaja dilakukan pelaku sebagai bentuk grooming atau cara untuk membuat anak atau target terperdaya.
“Tidak ada ciri-ciri tertentu apalagi testimoni bahwa ‘saya adalah calon predator’. Justru sebaliknya, kalau seseorang punya niat jahat dan terutama ingin mengincar anak-anak, tentu orang ini harus berpenampilan sedemikian rupa, bertindak sedemikian rupa, agar ia tidak tampak sebagai sosok yang menakutkan di mata anak-anak,” Reza menjelaskan.
“Alhasil yang dilakukan adalah harus tampil menarik, ramah, ceria, suka bermain, dan lain-lain. Ditambah lagi permainan psikologis seperti iming-iming, bujuk rayu, tawaran persahabatan, tawaran ingin melindungi, dan kehangatan,” ujar Reza memungkasi.