Pria Ini Dapat Kompensasi Rp10 Miliar Setelah Sempat Dipenjara dengan Tuduhan Mata-mata Korea Utara

JAKARTA - Seorang pria di Korea Selatan mendapatkan skitar 900 juta won (Rp10.327.349.565) sebagai kompensasi negara, setelah sempat divonis bersalah dan dipenjara atas tuduhan mata-mata lebih dari lima dekade yang lalu, sebelum dibebaskan oleh pengadilan, menurut pengumuman pemerintah pada Hari Senin.

Pengadilan Tinggi Seoul dalam keputusan 4 Oktober memerintahkan negara untuk membayar 901,2 juta won (Rp10.341.119.364) sebagai kompensasi kepada Kim Shin-geun, 82 tahun, atas pemenjaraan atau pengadilan yang salah, menurut lembaran negara tersebut.

Hukuman terhadap Kim berawal dari 54 tahun yang lalu, ketika profesor hukum Universitas Cambridge Park No-soo, anggota parlemen Kim Gyu-nam dan beberapa orang lainnya dihukum dengan tuduhan menjadi mata-mata untuk Korea Utara dalam sebuah kasus yang dikenal sebagai "operasi spionase Eropa," melansir The Korea Times 14 Oktober.

Kim, seorang mahasiswa pascasarjana berusia 20-an tahun di Universitas Korea pada saat itu, dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara atas tuduhan menghubungi agen mata-mata Korea Utara dan memberikan perintah spionase pada tahun 1966 saat dia belajar di luar negeri di Cambridge, sebagai bagian dari kasus spionase.

Pada tahun 2022, Kim mengajukan peninjauan kembali atas tuduhan mata-mata. Pengadilan kemudian membebaskannya, mengakui penangkapan dan penahanannya secara ilegal serta penyiksaan yang dilakukan oleh Badan Intelijen Pusat, yang sekarang menjadi Badan Intelijen Nasional.

Pengadilan memutuskan, bukti yang digunakan dalam vonis terhadap Kim adalah ilegal dan pembatalannya tidak menyisakan bukti Kim menimbulkan ancaman terhadap keberadaan atau keamanan negara. Keputusan tersebut ditetapkan pada bulan Juli.

Sebelumnya pada tahun 2015, Mahkamah Agung juga membebaskan seorang profesor dan anggota parlemen, yang keduanya dihukum dan dieksekusi pada tahun 1972, dalam persidangan ulang yang diajukan oleh keluarga mereka.

Pengadilan pada saat itu mengakui mereka telah ditangkap secara ilegal tanpa surat perintah dan dipaksa untuk membuat pernyataan melalui penyiksaan dan ancaman, yang secara efektif menyimpulkan hukuman mereka dibuat-buat.