Indef: Ekonomi Syariah Harus Dibangun secara Kolektif
JAKARTA - Penasihat Center of Sharia Economic Development (CSED) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Hakam Naja mengatakan ekonomi syariah harus dibangun secara kolektif.
“Ekonomi syariah ini memang seharusnya kita bangun secara kolektif, tidak bisa kita sendiri, tapi kita harus kolektif minimal 57 negara OKI (Organisasi Kerja sama Islam). Sekiranya kita membangun ekosistem, kita mesti membangun hubungan dengan mereka,” ujarnya dalam “Diskusi Publik Penguatan Ekosistem Halal untuk Masa Depan Ekonomi dan Keuangan Syariah” secara virtual di Jakarta, dikutip dari Antara, Sabtu 5 Oktober.
Berdasarkan data, sekitar 2 miliar penduduk Muslim di dunia akan mengeluarkan konsumsi sekitar 3 triliun dolar Amerika Serikat (AS) atau hampir tiga kali lipat dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang sebesar 1 triliun dolar AS.
Potensi tersebut dinilai harus diambil oleh Indonesia melalui sinergi dengan negara-negara OKI seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.
“Memang selama ini kita agak lalai, kita tidak aware, kita tidak mengambil peran itu. Data yang ada menunjukkan negara lain itu mengambil peran yang sangat penting, yang agak merisaukan karena Indonesia menjadi negara terbesar di OKI untuk konsumen industri makanan dan minuman (food and beverage industry), sementara negara-negara lain di luar OKI itu menjadi produsen terbesar,” ucap Abdul Hakim.
Kajian State of Global Islamic Economy tahun 2023-2024 mencatatkan bahwa industri makanan dan minuman halal dikuasai oleh Brazil, India, AS, Rusia.dan China.
Di sisi lain, Indonesia menjadi konsumen terbesar. Karena itu, dia menilai sinergi diperlukan dengan negara-negara OKI agar menjadi pemimpin ekosistem ekonomi syariah global.
Berbagai permasalahan yang perlu diatasi di tanah air berkaitan dengan persoalan jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap).
Dengan standar negara berpendapatan menengah sekitar 4.400-13.800 dolar AS, Bank Dunia melaporkan Indonesia hanya mencapai 5.200 dolar AS per kapita per tahun, sementara negara seperti Malaysia 13.300 dolar AS dan Singapura 35 ribu dolar AS.
Capaian pendapatan per kapita di tanah air disebut perlu ditingkatkan melalui investasi asing dan domestik untuk pengembangan teknologi guna menghasilkan nilai tambah maupun inovasi.
Melalui sektor ekonomi syariah, Abdul Hakam menganggap ada enam sektor yang dapat disinergikan guna meningkatkan pendapatan per kapita Indonesia. Mulai dari bidang keuangan, makanan dan minuman, pariwisata, fesyen, media dan hiburan, serta obat dan kosmetik.
“Saya melihat kalau Indonesia tentu kita bisa fokus paling tidak pada empat, yaitu bidang keuangan, bidang makanan, bidang pariwisata dan fesyen,” ungkap dia.
Secara spesifik, dia menilai industri fesyen dalam negeri dapat dijadikan sebagai pemantik untuk bangkit dari keterpurukan dalam ekonomi syariah melalui sinergi antara industri tekstil dengan berbagai desainer agar mampu memenuhi permintaan fesyen halal di Indonesia maupun global. Ikhtiar ini dilakukan juga untuk mengeluarkan Indonesia dari keadaan de-industrialisasi.
Baca juga:
“Dari potensi yang ada, penduduknya besar, alamnya luas dan indah, tingkat religiusitas kita juga cukup baik, cukup tinggi. Survei Giving Index (mencatatkan) kemampuan daya sedekah kita itu juga besar. Inilah hal-hal yang saya kira ke depan perlu kita dorong, sehingga inovasi itu menjadi kunci, sekaligus kita mengatasi de-industrialisasi, kita menyongsong masa depan, apalagi kita tidak ingin terjebak menjadi negara berpenghasilan menengah, kita ingin menjadi negara maju pada tahun 2045.” katanya.
Supaya Indonesia terlepas dari jebakan pendapatan kelas menengah, maka pertumbuhan ekonomi harus mencapai 8 persen dengan penghasilan per kapita 30 ribu dolar AS sebagaimana target tahun 2045.
Apabila pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen dan sinergi ekosistem ekonomi syariah dibentuk dengan negara-negara OKI seperti Brunei dan Malaysia, lanjut dia, tentu peluang menjadi pemimpin ekonomi syariah terbuka besar dan lebar.