Kontroversi Ekspor Pasir Laut: Sarat Motif Politik hingga Potensi Penambahan Pengangguran di Kawasan Pesisir
JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengizinkan pelaksanaan ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Namun keputusan ini ditanggapi negatif pengamat ekonomi. Alih-alih menambah pemasukan negara, ekspor sedimen pasir laut justru berpotensi menambah jumlah pengangguran.
Jokowi menegaskan, izin ekspor yang dibuka bukan pasir lain, melainkan pasir hasil sedimentasi yang dianggap menyebabkan pendangkalan sehingga mengganggu aktivitas pelayaran.
“Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya, yang dibuka (hasil) sedimentasi,” ucap Jokowi pada 17 September 2024.
Ini pertama kalinya pemerintah membuka ekspor pasir laut berupa hasil sedimentasi setelah selama 20 tahun ditutup. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang ekspor pasir laut di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2002. Larangan ekspor pasir laut tersebut disebabkan tingginya eksosistem pesisir.
Meski demikian, alasan di balik larangan ekspor di era Presiden Megawati tidak menyurutkan pemerintah sekarang kembali melegalisasi kegiatan tersebut.
Dikuasai Orang Penting
Untuk kembali menjalankan ekspor ini, pemerintah telah membuka pendaftaran bagi perusahaan yang berminat mengelola hasil sedimentasi laut pada 15-28 Maret 2024. Mengutip Kompas, sejauh ini sudah ada 71 perusahaan yang mendaftar untuk melakukan ekspolitasi pasir seusai dibukanya keran ekspor pasir laut sedimen ke luar negeri. Sebanyak 66 perusahaan dianggap sudah memenuhi kriteria kelengkapan dokumen.
Yang menjadi perhatian, dari berbagai daftar tersebut, beberapa perusahaan ditemukan terafiliasi dengan sejumlah nama tokoh besar, mulai dari mantan menteri, pengusaha nasional, sampai anak mantan pejabat negara.
Salah satu perusahaan yang mengajukan izin tambang pasir laut adalah PT Gajamina Sakti Nusantara. Menurut akta perusahaan tersebut, nama pendirinya adalah Yusril Ihza Mahendra, politikus Partai Bulan Bintang (PBB). Sebelumnya ia menjabat sebagai Ketua Tim Hukum dan Wakil Dewan Pengarah Tim Kampanye nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024. Yusril tidak menampik keterkaitannya dengan Gajamina. Ia mengaku mendirikan perusahaan tersebut pada Juni 2023.
Selain PT Gajamina Sakti Nusantara, ada juga PT Bumi Lautan Samudera yang mengajukan izin untuk tambang pasir laut. Dalam akta perusahaan terdapat nama Rahmania Kannesia Dahuri yang menjabat sebagai komisaris. Selain berprofesi sebagai dokter di sebuah rumah sakit di Jakarta, Rahmania adalah putri Menteri Kelautan dan Perikanan 2001-2004 Rokhmin Dahuri.
Kemudian PT Rejeki Abadi Lestari yang juga mengajukan perizinan untuk menambang pasir laut. Perusahaan ini baru berdiri pada Agustus 2023, atau tiga bulan setelah Presiden Jokowi menerbitkan kebijakan tentang pemanfaatan sedimen laut, termasuk pasir laut.
Di akta perusahaan, pemegang saham mayoritas Rejeki Abadi Lestari adalah PT Arsari Pradana Utama atau Arsari Group milik Hashim Djojohadikusumo. Hashim tidak lain adik kandung presiden terpilih sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Putra Hashim, Aryo P.S. Djojohadikusumo, duduk sebagai komisaris sekaligus pemegang saham minoritas Rejeki Abadi Lestari.
Berbeda dengan Yusril yang terang-terangan mengakui perusahaannya ikut mendaftar untuk mengelola hasil sedimentasi, Rokhmin Dahuri membantah kabar bahwa dia dan anaknya terkait dengan Bumi Lautan Samudera.
“Wah, nama saya dan anak saya dicatut, tuh. Saya tidak tahu-menahu tentang Bumi Lautan Samudera,” katanya pada Jumat, 27 September 2024.
Begitu pula ketika Vice President Corporate Communications Arsari Group Ariseno Ridhwan yang dimintai keterangan mengenai hal ini. Ia tak memberikan kepastian mengenai kepemilikan saham perusahaannya dalam Rejeki Abadi Lestari, yang mengajukan permohonan izin konsesi pengelolaan hasil sedimentasi. “Coba saya cek,” tutur Ariseno.
Tak Menguntungkan Negara
Pengamat politik Pieter C Zulkifli menyebut keputusan Presiden Jokowi yang akhirnya membuka keran ekspor pasir laut di pengujung pemerintahannya mengundang tanya.
“Apakah ini murni kebijakan ekonomi atau justru ada agenda politik di baliknya?” ujar Pieter.
Menutur Pieter, seharusnya ada hal lain yang lebih penting ketimbang membuka keran ekspor pasir laut, seperti perbaikan penegakan hukum, restorasi lembaga pendidikan nasional, pelayanan kesehatan yang belum berpihak pada keselamatan rakyat, hingga penerbitan PP tentang Omnibus Law Kesehatan.
“Bukankah itu yang sangat dibutuhkan masyarakat? Keselamatan rakyat seharusnya menjadi prioritas negara,” ujarnya.
Sementara itu, hasil studi lembaga penelitian ekonomi dan kebijakan publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menunjukkan potensi keuntungan bagi negara terbilang kecil meski ekspor pasir laut diharapkan dapat memberi keuntungan bagi para pengusaha dan menyumbang pendapatan negara.
Direktur Ekonomi Digital CELIOS Nailul Huda menjelaskan simulasi yang dilakukan menemukan dampak negatif pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp1,22 triliun, dan pendapatan masyarakat akan menurun hingga Rp1,21 triliun.
"Jadi studi ini memberikan respons atas berbagai klaim pemerintah bahwa ekspor pasir laut akan meningkatkan keuntungan ekonomi dan pendapatan negara. Klaim itu ternyata berlebihan," kata Huda dalam keterangan resmi CELIOS.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menyebut ekspor pasir laut justru berisiko menciptakan pengangguran di kawasan pesisir. Model penambangan pasir laut dengan kapal isap dan pengangkutan tongkang juga cenderung padat modal (capital intensive) bukan padat karya (labor intensive).
Baca juga:
- Hubungan Romantis Orang Dewasa dan Anak di Bawah Umur Tak Bisa Dilabeli Suka Sama Suka, Itu Child Grooming
- Eskalasi Serangan Israel vs Hizbullah dan Ancaman Perang Regional Skala Penuh
- Skandal Video Asusila di Gorontalo: Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan adalah Fenomena Gunung Es
- Rano Karno dan Suku Betawi, Apakah Preferensi Etnis dan Agama Masih Relevan di Pilkada Jakarta?
Studi yang sama juga menunjukkan bahwa setiap peningkatan ekspor pasir laut berisiko mengurangi produksi perikanan tangkap. Akibat adanya ekspor pasir laut sejumlah 2,7 juta meter persegi, ada penurunan nilai tambah bruto sektor perikanan yang ditaksir mencapai Rp1,59 triliun. Bila ditaksir, pendapatan nelayan yang hilang Rp990 miliar dan berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor perikanan sebesar 36.400 orang.
"Tidak ada korelasi ekspor pasir laut dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing," kata Bhima tegas.