Skandal Video Asusila di Gorontalo: Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan adalah Fenomena Gunung Es
JAKARTA – Skandal video guru dan murid di Gorontalo berdurasi tujuh menit viral di seluruh Indonesia. Dugaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum guru ini merupakan alarm bagi dunia pendidikan Tanah Air.
Dalam beberapa hari ke belakang, tersebarnya video asusila yang melibatkan guru dan siswi yang masih duduk di bangku kelas 12 di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, menjadi perbincangan khalayak. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyebut ini sebagai darurat karena tindakan kekerasan seksual anak di satuan pendidikan terus berulang dengan tren meningkat.
“Ini sudah darurat. Antisipasi pencegahan dan penanganannya harus secara luar biasa karena ini sudah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bagi kami,” kata Satriwan.
Sementara itu, aktivis perempuan geram dengan sejumlah pemberitaan yang menyebut kasus guru dan murid ini terjadi karena suka sama suka. Padahal, kekerasan seksual hampir pasti terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban, seperti guru yang lebih punya kuasa dibandingkan dengan siswanya.
Tak lama setelah video itu viral, polisi langsung melakukan penyelidikan. Tak butuh waktu lama, Kepolisian Resor Gorontalo kemudian menetapkan guru dalam video itu, DH (57), sebagai tersangka. DH dijerat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Bukan Suka Sama Suka
Dari hasil penyelidikan, Kepala Polres Gorontalo Ajun Komisaris Besar Deddy Herman mengatakan DH ternyata telah mendekati korban yang masih di bawah umur sejak 2022. Tersangka mendekati korban, antara lain, dengan membantu mengerjakan tugasnya. Mereka pun menjalin hubungan.
“Modus yang terjadi memang hubungan asmara karena yang bersangkutan merasa tersangka ini mengayomi, membantu tugas, memberi perhatian lebih. Akhirnya, korban pun merasa nyaman sampai terjadi seperti itu,” ungkap Deddy seperti dikutip Kompas.
Tidak hanya di media sosial, sejumlah pemberitaan di media nasional menyebut kasus guru dan murid disebut karena suka sama suka. Bahkan di antara pemberitaan tersebut ada juga yang menuliskan identitas korban seperti asal sekolah dan organisasinya.
Informasi soal “suka sama suka” rupanya membuat geram Novi Rusnarty Usu, aktivis Salam Puan, sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada perlindungan perempuan di Gorontalo.
“Ini bukan karena suka sama suka, tetapi ada relasi kuasa yang timpang antara guru dan murid,” tegas Novi.
Baca juga:
- Rano Karno dan Suku Betawi, Apakah Preferensi Etnis dan Agama Masih Relevan di Pilkada Jakarta?
- Kewajiban Bekerja Paruh Waktu bagi Penerima Beasiswa adalah Bentuk Perbudakan Modern
- Demam Boneka Labubu dan Sindrom FOMO: Orang Cenderung Ingin Diakui di Dunia Virtual
- Wacana Penambahan Kementerian dan Lembaga Tak Hanya Tambah Beban Anggaran, juga Bikin Rumit
Ia menuturkan, selama ini guru dianggap lebih superior, ditakuti, bahkan dinilai sebagai orangtua kedua bagi para pelajar. Dalam kasus di Gorontalo, korban merasa diperhatikan oleh tersangka, apalagi ia merupakan anak yatim piatu. Situasi ini dimanfaatkan yang bersangkutan untuk memerdaya korban.
Seharusnya, tersangka sebagai guru mampu membimbing muridnya. Kalaupun siswa punya tendensi ketertarikan terhadap yang bersangkutan, guru semestinya mengarahkan siswa.
“Guru harus jadi pelindung dan menjaga diri. Jangan buat siswa ikut perasaannya,” ucap Novi.
Pengajar studi gender di Universitas Negeri Gorontalo ini juga menyesalkan penyebaran video asusila di medsos dan pemberitaan yang membingkai kejadian itu karena suka sama suka. Padahal, ia menegaskan kasus itu adalah kekerasan seksual. Ia pun meminta korban mendapat pendampingan, terutama pendidikannya.
Tren Kekerasan Seksual Meningkat
Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyebut kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan yang terungkap ke publik seperti di Gorontalo dan wilayah lainnya seperti “fenomena gunung es”. FSGI mencatat setidaknya terjadi 101 korban kekerasan seksual di satuan pendidikan dari Januari hingga Agustus 2024.
Sebelumnya, dari Januari hingga Mei 2023, FSGI mendata ada 22 kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban mencapai 202 anak di lingkungan pendidikan, dengan pelaku yaitu guru, pemimpin pondok pesantren, hingga guru.
Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim mengatakan, kasus ini mencerminkan bahwa dunia pendidikan sedang darurat kekerasan seksual, karena tindakan kekerasan seksual di satuan pendidikan terus berulang dengan tren yang meningkat, ditambah rendahnya sanksi terhadap pelaku sehingga tidak memberi efek jera.
Pemerintah, menurut Satriwan, harus membuat rencana aksi nasional pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memberi sanksi berat kepada pelaku.
Menurut Satriwan, pada kasus di Gorontalo pelaku seharusnya dijerat dengan pasal berlapis, mulai dari UU KUHP, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Perlindungan Anak, UU ASN, hingga UU Guru dan Dosen.
“Ini hendaknya menjadi semacam alarm bahwa tindak kekerasan seksual ke anak, sanksinya berat, misalnya apakah dikebiri atau kemudian dipenjara seumur hidup,“ katanya dengan geram.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan tingginya kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan disebabkan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara guru dan murid. Pengawasan yang lemah memperparah situasi tersebut.
“Berhadapan dengan orang yang dihormati, disegani, ditakuti, bahkan ada iming-iming apa pun menunjukkan sisi kerentanan anak. Ini yang KPAI lihat sebagai sisi kedaruratannya, yaitu relasi kuasa sedemikian besar memposisikan anak sangat rentan,” kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah.
“Sangat miris, berulang terjadi lagi di lingkup pendidikan yang harusnya menjadi tempat rumah kedua yang aman setelah di rumahnya,” katanya.