Menyimak Pembatasan Sosial Skala Besar Menurut Kemenko Maritim
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menerapkan pembatasan sosial berskala besar dengan status darurat sipil untuk mengatasi penyebaran virus corona atau COVID-19 di Indonesia. Masyarakat juga diminta untuk tegas dan disiplin menjaga jarak fisik atau physical distancing.
Lalu, apa yang dimaksud pembatasan sosial berskala besar dan apa dampaknya dalam kehidupan sehari-hari? Juru Bicara Menko Maritim dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi menjelaskan, pembatasan sosial berskala besar merupakan salah satu bentuk kekarantinaan kesehatan.
Jodi mengatakan, tujuannya adalah untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit, seperti diatur dalam pasal 59 ayat 2, Undang-Undang nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Diatur dalam pasal 59 ayat 3, pembatasan sosial berskala besar paling sedikit meliputi:
1. peliburan sekolah dan tempat kerja;
2. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
3. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Sedangkan, Pasal 60 UU nomor 6 tahun 2018 mengatur kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Jodi mengatakan, pemerintah baik pusat maupun daerah bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan masyarakat. Aturan ini tertuang di dalam pasal 4 UU nomor 6 tahun 2018.
Pasal 4 berbunyi:
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
"Dengan kata lain, kekarantinaan kesehatan dapat dilakukan untuk mencegah kedaruratan kesehatan masyarakat," jelas Jodi, dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, di Jakarta, Senin, 30 Maret.
Baca juga:
Sementara itu, Jodi mengatakan, di dalam pasal 49 ayat (3) UU nomor 6 tahun 2018 menyebutkan bahwa pembatasan sosial berskala besar ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Sedangkan, status darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Pasal 1 menyatakan, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang.
Kemudian, di dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat.
Dampak penetapan status darurat sipil cukup luas. Di antaranya, pada pasal 18 disebutkan bahwa Penguasa Darurat Sipil berhak membuat ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum, pertemuan-pertemuan umum dan arak-arakan harus dilakukan dengan izin tertentu. Sementara itu, izin ini oleh Penguasa Darurat Sipil dapat diberikan penuh atau bersyarat.
Tak hanya itu, Penguasa Darurat Sipil juga berhak membatasi atau melarang memasuki atau memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman atau lapangan-lapangan untuk beberapa waktu yang tertentu.
Pada pasal 19 disebutkan bahwa Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah. Sedangkan, Pasal 20 menyatakan, Penguasa Darurat Sipil berhak memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain.
"Pembatasan sosial skala besar, dan kalau perlu pengetatan lebih, didampingi dengan darurat sipil. Untuk partial isolation (karantina wilayah tingkat kelurahan, RT, RW) silahkan gubernur. Tapi untuk kota dan provinsi itu pusat yang menentukan. Arus distribusi bahan dasar harus tetap lancar," tuturnya.