Profil Bonnie Triyana, Pernah Terlibat Kontroversi dengan Pemerintah Belanda

YOGYAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terpilih untuk periode 2024-2029 yang mewakili Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Tia Rahmania mendadak diganti menjelang pelantikan pada Kamis (1/10/2024). Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengungkapkan, Tia digantikan oleh Bonnie Triyana karena dipecat dari PDI-P dan posisinya digantikan orang lain. Simak profil Bonnie Triyana di bawah ini.

Pergantian anggota DPR RI tersebut berdasarkan surat Keputusan KPU RI Nomor 1368 Tahun 2024 yang ditandatangani oleh Ketua KPU RI, Mochamad Afifudin pada Senin (23/9/2024).

“Menetapkan Perubahan Penetapan calon terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Daerah Pemilihan Jawa Tengah V dan Banten I,” demikian isi surat keputusan tersebut.

Sebelumnya, Tia menjadi perhatian publik karena telah melayangkan kritik kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron.

Kader PDIP dapil Banten Tia Rahmania (@tiarahmania_bantenofficial)

Profil Bonnie Triyana

Dilansir dari Antaranews, Bonnie dilantik sebagai Kepala Badan Sejarah Indonesia Pengurus DPP PDIP pada Jumat (5/7/2024). Selain Bonnie, ada tiga orang lain yang juga ikut dilantik, yaitu Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Ganip Warsito, mantan Gubernur Lemhannas, Andi Widjajanto, dan Hendra Gunawan. Saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Bonnie Triyana adalah caleg PDI-P Dapil Banten 1 dengan nomor urut 1.

Berdasarkan pada Hasil Pemilu 2024 dari laman Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bonnie meraih 36.516 suara saat Pemilu 2024. Sementara itu, Tia Rahmania meraup 37.359 suara, atau terpaut 843 suara saja dengan Bonnie.

Selanjutnya pada pertengahan Mei 2024, terdapat putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Banten tentang perselisihan dua calon anggota legislatif tersebut.

Bonnie sendiri memiliki dugaan, ada penggelembungan suara yang dilakukan oleh delapan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di Lebak dan Pandeglang, Banten. Setelah menjalani beberapa sidang, Bawaslu menetapkan delapan anggota PPK terbukti melakukan pelanggaran tata cara, prosedur, dan mekanisme saat rekapitulasi hasil penghitungan suara.

Ketua Bawaslu Banten, Ali Faisal menjelaskan, sengketa sudah selesai dan selanjutnya akan diserahkan pada pihak Bonnie sebab Bawaslu hanya fokus pada pelanggaran administrasi.

Pendiri Majalah Historia

Bonnie diketahui sebagai pendiri majalah sejarah populer, Historia, yang lahir di Rangkasbitung, Banten pada 27 Juni 1979. Ia menempuh pendidikan SMA 1 Rangkasbitung tahun 1997 dan S1 jurusan Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang pada 2003. Setelah lulus dari Universitas Diponegoro, Bonnie sempat berkarier di Harian Suara Merdeka dan kemudian pindah ke Majalah Gatra.

Adapun kariernya di bidang sejarah berawal ketika ia menjadi asisten sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI (sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN), Asvi Warman Adam. Bonnie juga sempat bekerja di Harian Jurnal Nasional hingga 2008 dan diberi kepercayaan untuk memegang halaman budaya sebelum mendirikan Majalah Historia.

Selanjutnya, pada tahun 2018 ia menjadi perintis Museum Multatuli di Rangkasbitung, dan pada 2019 ia berhasil menyelenggarakan Pameran DNA “Asal Usul Orang Indonesia” yang mengungkap keragaman leluhur orang Indonesia. Tepat pada 2020, Bonnie mempunyai peran dalam misi pemulangan artefak Nusantara dari Belanda. Selain itu, Bonnie juga tercatat sebagai seorang konsultan di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda.

Terlibat kontroversi dengan pemerintah Belanda

Bonnie tercatat pernah memancing kontroversi dengan pemerintah Belanda karena opini yang pernah ditulisnya. Polemik muncul saat Federatie Indische Nederlanders (Federasi Belanda-Indisch-FIN) mengungkapkan keberatan dengan tulisan Bonnie tentang masa “Bersiap”. Sebagai informasi, masa Bersiap merupakan terminologi Belanda untuk menyebut masa yang kita kenal sebagai Agresi Militer.

Opini Bonnie berjudul "Schrap term 'Bersiap' voor periodisering want die is racistisch" yang berarti "Hapus istilah 'Bersiap' dalam periodisasi tersebut karena rasis", mengundang protes dari kelompok tersebut. Istilah “Bersiap” di Belanda kerap digunakan untuk merujuk pada kekerasan anti-kolonial yang “dilakukan” orang Indonesia pada tahun 1945-1950. Menurut Bonnie, istilah tersebut selalu mendeskripsikan orang Indonesia yang primitif dan tidak beradab sebagai pelaku kekerasan.

Di sisi lain, Rijksmuseum menjelaskan, pihaknya tidak melakukan penyensoran dan pelarangan terhadap istilah “Bersiap.”

Demikianlah ulasan tentang profil Bonnie Triyana. Kunjungi VOI.id untuk mendapatkan informasi menarik lainnya.