Kelas Menengah Turun, Komisi II DPR Dorong Regulasi ‘Bahagiakan’ Warga agar Kembangkan Ekonomi Rakyat

JAKARTA - DPR RI mendorong regulasi untuk mengembangkan perekonomian rakyat di seluruh daerah guna meningkatkan perekonomian. Hal tersebut dilakukan mengingat adanya penurunan jumlah kelas menengah yang signifikan.

"Kita perlu perbaiki regulasi dengan merevisi rencana desain dan tata ruang (RDTR) sesuai dengan kebutuhan tiap daerah atau lebih fleksibel terhadap regulasi tersebut. Agar para investor yang akan masuk bisa lebih mudah dan membantu perkembangan ekonomi rakyat," ujar Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera, Kamis 19 September.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terjadinya jumlah penduduk kelas menengah yang turun drastis. Pada tahun 2019 warga yang masuk dalam kelas menengah masih berkisar di angka 21,45 persen dari total penduduk Indonesia atau sebesar 57,3 juta orang. Tahun 2024, penduduk kelas menengah jumlahnya tinggal 17,44 persen atau menjadi 47,85 juta orang.

Menurut Mardani, salah satu penyebab penurunan kelas menengah di Indonesia karena kebijakan otonomi daerah yang kurang mendukung perkembangan ekonomi rakyat.

“Sekarang ini untuk usaha rumahan susah karena kawasan residensial. Mestinya dimudahkan agar perputaran uangnya mudah. Rata-rata kota kita keikat aturan,” ungkapnya.

“Jadi ini tentang bagaimana tata ruang memudahkan dan lentur agar dari residensial ke komersial bisa mudah,” sambung Mardani.

Dengan mempermudah revisi RDTR, menurut Mardani, hal itu bisa membuat perekonomian masyarakat kelas menengah meningkat. Ia pun memberi contoh Singapura yang memberikan kemudahan untuk cepat mengadaptasi regulasi untuk para investor berinvestasi di sebuah daerah dengan konsekuensi mereka harus mengeluarkan uang lebih banyak.

Menurut Mardani, hal ini untuk membantu perekonomian masyarakat sekitar agar bergerak.

"Misalnya di Singapura nih, itu daerah perumahan tapi dia mau jadi komersial, boleh asal bayar aja. Ada rate-nya tapi dan mereka harus bayar Pemda untuk menyiapkan lahan parkir, memperbesar ruang, dan sebagainya," jelas Legislator dari dapil DKI Jakarta I itu.

"Dengan dimudahkan aturan maka perputaran uang itu akan makin banyak," tambah Mardani.

Di Indonesia sendiri, revisi RDTR hanya bisa dilakukan dalam 5 tahun sekali. Mardani menyebut hal ini dapat menyulitkan kemajuan daerah mengingat perkembangan zaman bergerak cepat dan menyebabkan para investor yang mau masuk ke daerah-daerah seperti perumahan, komersial ataupun industrial menjadi lebih sulit.

"Tapi ada juga daerah yang lebih fleksibel karena Pemdanya mau berkolaborasi dan adaptif untuk membuat perekonomian masyarakat bergerak. Kita bisa lihat kawasan BSD dan juga Summarecon Bekasi, maju sekarang karena memang dia dimudahkan karena ada estate managemennya yang atur,” paparnya.

Dengan Pemda memberi ruang untuk investor mengembangkan residential, masyarakat di daerah tersebut dapat merasakan manfaatnya karena bisa turut mengakses sarana maupun fasilitas yang disiapkan pihak pengembang.

“Pemda memberi ruang sehingga masyarakatnya juga berkembang. Karena pengembang diberikan ruang lebih, akhirnya jadi ada sarana buat masyarakat berkumpul dan beraktivitas,” tutur Mardani.

“Mau jogging, ada kafe-kafe bagus yang harganya terjangkau. Jadi perkembangan ekonominya bagus, dan itu dirasakan juga oleh warga-warganya,” imbuhnya.

Mardani juga memberi contoh Anies Baswedan yang membangun Taman Ecopark saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dengan memanfaatkan kerja sama dengan pengembang, Pemda disebut dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan dan ekonomi warga.

“Kayak Anies Baswedan bagus, bikin tempat ecopark itu bagus, orang jadi ramai ke sana, dia berkolaborasi, bagus dan jalan. Nah para kepala daerah dan birokrat daerah harus berpikir seperti itu, jangan abisin anggaran sekadar jalani project tapi nggak buat daerahnya berkembang,” urai Mardani.

“Aturannya dimudahkan tetapi di saat yang sama pelaksanaannya harus kolaboratif,” tambahnya.

Hanya saja, Mardani menyebut tidak semua daerah membuka akses perkembangan seperti itu.

"Permasalahannya adalah masih ada perbedaan peraturan di setiap wilayah, semua tergantung dari pemimpin atau kepala daerah seperti Gubernur, Bupati dan Walikota nya masing-masing," kata Mardani.

Komisi II DPR RI yang membidangi urusan otonomi daerah pun berharap kepala daerah dan birokrat untuk bekerja betul-betul demi kesejahteraan warganya. Hal ini penting karena para birokrat di daerah masih banyak yang hanya mengurusi kepentingan masing-masing dan enggan berkolaborasi dengan pihak pengembang demi kemajuan daerahnya.

"Kita tuh inginnya para birokrat kepala daerah mikirnya ke situ (memberikan ruang berusaha). Jadi si para middle class itu bisa memanfaatkan lahan itu. Bayangkan kalau warganya bahagia, memiliki kemudahan berusaha dan fasilitas otomatis dia produktif, nah kalau dia produktif, ekonomi pasti berkembang," terang Mardani.

“Penumbuh kota itu dibantu private, selain APBN dan APBD yang menyediakan biar masyarakat tumbuh berkembang. Tapi yang ada sekarang ini uang negara itu rata-rata untuk project aja, yang penting habisin anggaran tapi nggak mikirin perkembangan warganya,” sambungnya.

Selama lima tahun terakhir, sebanyak 9,4 juta orang telah turun kelas, ada yang menjadi kelompok 'menuju kelas menengah’ atau aspiring middle class yang berada di antara kelas menengah dan kelas rentan miskin. Kemudian ada kelas menengah yang turun dua level ke bawah menjadi kelompok 'rentan miskin'.

Mardani mengatakan penurunan kelas warga ini merupakan dampak dari berbagai masalah pembangunan negara, termasuk dalam aspek sosial dan ekonomi.

"Intinya kalau ekonomi berkembang pajaknya naik, pajak nya naik pendidikannya berkualitas, kesehatannya berkualitas, jadi kota yang disukai orang. Jadi semua berkesinambungan, maka kita harus selesaikan dari hulu ke hilir," ungkap Mardani.

"Nah syaratnya tadi betul-betul warganya bahagia, nah itu tugasnya Pemda untuk buat regulasi yang menunjang kebahagiaan warganya. Maka Pemdanya harus berani, tata ruangnya harus diberesin," lanjutnya.

Pengelolaan tata ruang memang kerap menjadi masalah bagi sejumlah daerah di Indonesia. Karena masih adanya perang kepentingan antar sektor dan Pemerintah daerah.

Oleh karena itu Mardani menekankan kepada Pemda untuk lebih mementingkan kebutuhan warga dan berkolaborasi dengan pihak swasta. Pemda diminta untuk beri kemudahan regulasi dengan syarat investasi mendukung perkembangan masyarakat daerah tersebut, terutama dalam hal perekonomian sehingga berbagai permasalahan dapat diselesaikan secara berkesinambungan.

“Kan ada banyak nih, ada 100 masalah. Kalau ada 1 tombol kita pencet, masalah lainnya akan selesai dengan sendirinya. Ini yang terjadi soal fenomena penurunan kelas menengah,” tutup Mardani.