Tak Miliki SPDP, Penetapan Tersangka Kasus Korupsi ASDP oleh KPK Dinilai Tak Sah

JAKARTA - Penetapan tersangka kasus korupsi terkait kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disorot.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas ST Thomas Medan, Berlian Simarmata menyoal ketiadaan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Hal ini disampaikan setelah pihak salah satu tersangka, IP menyampaikan kondisi ini dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa, 17 September.

"Dikatakan penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor, dan korban atau pelapor paling lambat tujuh hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan. Itulah isi putusan MK," kata Berlian dalam keterangannya yang dikutip Rabu, 18 September.

Pernyataan Berlian ini merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 130 Tahun 2015. Sehingga, dia menyebut penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK dalam kasus ini tidak sah.

Apalagi, SPDP penting untuk disampaikan kepada pihak tersangka untuk memberikan kepastian hukum.

"Karena kalau sudah keluar sprindik orang menjadi tersangka atau sudah ditetapkan sebagai tersangka maka terbuka peluang untuk dilakukan upaya-upaya paksa yang bisa melanggar hak-hak si tersangka itu," tegasnya.

Selain itu, surat tersebut juga penting bagi tersangka untuk memperjuangkan haknya. Salah satunya lewat gugatan praperadilan.

Adapun dalam sidang praperadilan, kuasa hukum IP membawa sejumlah dokumen dan bukti tertulis untuk membantah dalil KPK dalam penetapan tersangka. Salah satunya adalah ketiadaan SPDP yang diterima kliennya.

"Jadi artinya mau mempersiapkan pembelaan diri pun jadi tidak terpikir, orang dia tahu kasusnya sampai di mana," pungkasnya.