Marak Kasus Bullying Berujung Jalur Hukum, DPR Khawatir Sekolah Jadi Tempat Mengerikan

JAKARTA - Komisi X DPR menyoroti maraknya kasus perundungan atau bullying di sekolah yang berujung pada jalur hukum. Komisi bidang pendidikan ini khawatir sekolah akan menjadi tempat yang mengerikan bagi peserta didik. 

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menanggapi kasus perundungan di SMA Binus Simprug, Jakarta Selatan, yang diduga dilakukan oleh 8 siswa terhadap seorang temannya. 

Dede mengungkapkan kekhawatirannya jika aparat sering masuk ke sekolah karena kurang efektifnya Satgas Antibullying.

"Saya prihatin kasus bullying ini terjadi di sekolah dengan kriteria unggul dan fasilitas yang mungkin sudah tercukupi. Peran sekolah menjadi sangat penting, saya khawatir dengan fenomena aparat penegak hukum yang jadi sering masuk ke sekolah," ujar Dede Yusuf dalam keterangannya, Selasa, 17 September. 

Dede juga mengatakan, kasus bullying yang berakhir hingga ke jalur hukum dapat menimbulkan banyak dampak negatif. Salah satunya, sekolah menjadi tempat yang mengerikan bagi para peserta didik. 

“Dampaknya sekolah menjadi tempat yang mengerikan, karena dikit-dikit ada penegak hukum. Tentu untuk proses belajar mengajar menjadi tidak nyaman dan kondusif,” kata mantan Wagub Jawa Barat itu.

“Karena kan kalau menggunakan payung hukum anak SMA sudah kategorinya sudah bukan anak-anak lagi bisa kena delik hukum pidana,” sambung Dede.

Padahal, lanjut Dede, Kementerian Pendidikan, Budaya (Kemendikbud) dan Ristek sudah memiliki regulasi terkait masalah bullying di sekolah yakni Permendikbud No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Permendikbud ini juga mewajibkan dibuatnya Satuan Tugas (Satgas) untuk mengurus masalah bullying di sekolah.

“Ketika terjadi bullying di dalam sekolah, satgas kekerasan antibullying itu yang harus bertanggung jawab. Nah apakah di swasta ada? Karena kalau di negeri semua ada,” ungkapnya.

Dede menjelaskan, sebenarnya pada Satgas Antibullying ini aparatur yang mengurusnya sudah ada. Namun sayang, menurut Dede, aparat yang masuk biasanya hanya bersifat penyuluh dan pembimbing sehingga dinilai kurang maksimal karena tidak ada bagian penegakan hukumnya.

“Jadi kalau misalnya melaporkan sampai ke Polisi dan menggunakan pengacara, ini kan kaitannya jadi harus ada yang dipenjara. Jadinya kan panjang sekali, padahal kalau satgas itu bekerja dengan baik dan sekolah tidak membiarkan maka hal-hal semacam ini tidak perlu terjadi,” jelas Dede.

“Nah itu harus kita tanyakan bagaimana di Binus itu ada tidak satgasnya karena satgas ini terdiri dari orang tua, guru, kepala sekolah bahkan hingga keamanan sehingga tidak serta merta permasalahan ini harus diangkat ke penegak hukum. Bisa diselesaikan oleh satgas tadi,” imbuh legislator dapil Jawa Barat itu. 

Dede juga menyoroti soal korban maupun pihak sekolah yang menggunakan pengacara ternama pada kasus ini. Menurutnya, penanganan bullying di sekolah malah jadi ambigu lantaran ikut menyertakan aparat untuk penyelesaiannya. 

“Akhirnya endingnya bukan lagi soal pendidikan tapi jadinya proses gugat menggugat. Ketika sudah ada proses gugat menggugat artinya proses pendidikannya sudah kacau sudah tidak terjadi karena masuknya ranah hukum,” ucap Dede.

Selama ini, sambung Dede, Komisi X DPR telah lama berfokus pada pengawasan bidang pendidikan. Namun kata dia, masalah hukum yang terlibat pada kasus bullying menyebabkan kasus semakin kompleks.

“Selama ini kan datangnya ke komisi X lalu kita panggil pihak sekolah nanti diselesaikan dengan jalur pendidikan. Kalau masuk ke ranah hukum datangnya ke komisi III,” pungkasnya. 

Peristiwa perundungan di Binus School Simprug terjadi kepada siswa berinisial RE (16). Di mana korban mengaku menerima perundungan (bullying) dan kekerasan fisik dari awal masuk sekolah pada November 2023 hingga mengakibatkan dirinya masuk ke rumah sakit. 

 

Dalam audiensi dengan Komisi III DPR hari ini, korban menyatakan juga mengalami dugaan kekerasan seksual. Dalam pengakuannya, RE siswa SMA Binus Simprug juga mengaku mendapat intimidasi dari para pelaku bullying. Termasuk adanya ancaman dari terduga pelaku yang mengaku sebagai anak ketua umum partai politik (parpol). 

Aksi perundungan di SMA Binus Simprug ini menambah panjang kasus bullying yang sedang marak terjadi. Kasus perundungan di Binus School sendiri juga sudah pernah terjadi sebelumnya yakni pada bulan Maret lalu, tepatnya di Binus School Serpong yang melibatkan anak dari artis Vincent Rompies.

Kasus tersebut dilakukan oleh sejumah oknum murid kelas 12 dengan nama Geng Tai kepada murid kelas 10. Dalam kasus ini, polisi menetapkan 4 tersangka yakni E (18), R (18), J (18), dan G (19).